Remaja 18-an tahun itu tengah menenangkan diri, batinnya meronta berat rasanya meninggalkan pondok yang lebih empat tahun ini mengasuhnya. Mobil tua itu sempat terbatuk-batuk ketika harus merangkak di tanjakan Karangnongko.
Di terminal Ajis turun untuk ganti kendaraan umum, masih lima jam lagi perjalanan baru sampai tujuan.
"Hati-hati Jis," pesan Ustaz Nara sebelum berpisah, ustaz asal NTT itu sempat melirik peci putih dalam genggaman tangan kanan Ajis.
"Pemberian Abah tadi pagi," ungkap Ajis sambil membuka genggaman tanpa mengangkat pandangannya, sebuah peci putih dan seuntai tasbih kecil.
"Rawat dengan baik," Â Ajis mengangguk.
***
Setelah berulang kali mengucap salam dan mengetuk pintu. Seorang perempuan muda bergaun tipis dengan rambut sedikit berantakan muncul dari balik pintu.
"Oo..kamu Jis pulang rupanya, sana langsung ke belakang!"
"Siapa?" terdengar suara seorang pria dari dalam.
Ajis memasuki rumahnya dengan langkah gamang dan perasaan asing. Siapa laki-laki di rumahnya bersama ibu tirinya tadi. Bukankah ayah masih di penjara?
Semenjak ibu Ajis meninggal dan ayahnya menikahi Nunuk, janda muda tetangga desa, kehidupan keluarga Ajis berantakan. Banyak peristiwa aneh terjadi, ayahnya yang kepala desa didemo, menyusul adik-adik ayahnya satu per satu meninggal misterius.