Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen : Begundal

21 Oktober 2021   04:07 Diperbarui: 21 Oktober 2021   04:55 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap orangtua tentu ingin memberi nama yang bagus untuk anak-anaknya. Nama yang enak didengar dan memiliki arti.

Tapi tidak demikian dengan ayah. Lima menit usai aku dilahirkan, ayah mencium kening ibu dan memberi tahu jika namaku adalah Begundal.

"Begundal?" Wajah ibu sontak memerah padam. "Jangan beri bayi kita nama itu, Sur! Ingat, nama adalah doa!"

***
Ketika tiba saatnya aku masuk sekolah TK, ibu enggan mendaftarkanku. Alasan ibu, malu. Sebab namaku terdengar aneh dan berkonotasi buruk.

"Tahu tidak apa arti kata begundal?" Kembali ibu bersitegang dengan ayah. Ayah tertawa.

"Ya, tahu, dong! Kan, aku yang memberi dia nama itu." Ayah menoleh lalu menggamit lenganku. "Ayah yang akan mengantarmu daftar sekolah, Nak. Ayo, kita berangkat!"

***
Menunggu antrean panjang di depan gerbang sekolah membuat mataku mengantuk. Ayah lantas menggendongku di belakang punggungnya yang kekar.

Aku terbangun ketika kudengar Ayah berbincang-bincang dengan seseorang.

"Nama putra Bapak?"

"Begundal."

"Mohon diulang, Pak."

"Begundal, Bu guru. Begini ejaannya. B, e, g, ...."

"Ayaaah, aku kebelet pipis!"

***

Di bangku Sekolah Dasar hari-hariku boleh dibilang sangat tidak menyenangkan. Nama pemberian ayah sering dibuat bahan olokan-olokan. Terutama saat pulang sekolah, saat berpapasan dengan ibu-ibu yang menjemput anak-anak mereka.

"Ndal, dijemput bapakmu lagi, ya?" Salah seorang ibu mulai memancing percakapan agar ibu-ibu yang lain menanggapi.

"Iyalah. Siapa lagi yang akan menjemput dia. Begundal kan anak kesayangan bapaknya. Eh, ngomong-ngomong ada yang tahu tidak apa arti kata begundal?"

"Kalau tidak salah begundal itu artinya ..."

Untunglah ayah segera datang menjemputku, dengan sepeda tuanya.

***
Masuk SMP, nama pemberian ayah semakin gencar dijadikan bahan cemoohan. Pelakunya bukan lagi ibu-ibu. Melainkan teman-teman sebayaku sendiri.

Awalnya aku tidak menggubris cemoohan mereka. Tapi ketika sudah membawa-bawa nama ayah --- dengan mengatakan ayah laki-laki gila karena tega memberi nama aneh pada anaknya, aku tak lagi banyak bicara. Kutinju langsung mulut temanku yang kurang ajar itu. Sekuat tenagaku.

Tapi teman yang kutinju tidak tinggal diam. Ia balas meninjuku dengan pukulan jauh lebih keras. Ujung-ujungnya kami berkelahi hebat.

Meski pulang dengan wajah babak belur aku merasa sangat puas. Paling tidak aku telah menjadi anak yang berbakti karena sudah berani membela kehormatan ayah.

"Astagaaa, Gun. Kamu berkelahi lagi? Lihat, Sur! Mau jadi apa anakmu kelak?" Melihat kondisiku ibu berteriak cemas. Lalu memarahi ayah habis-habisan.

"Biarlah Begundal menjadi dirinya sendiri.' Ayah menanggapi dengan santai. "Oh, ya, anak laki-laki berkelahi itu biasa. Apalagi jika tujuannya membela kehormatan orangtua, aku bangga!"

Lagi-lagi, tangan Ayah yang tak lagi kekar mengacak-acak rambut kusutku.

***
Aku merasa telah menjadi lelaki dewasa ketika menanggalkan seragam putih abu-abu, masuk perguruan tinggi, dan lulus sebagai mahasiswa terbaik.

Nasib baik terus berpihak kepadaku. Saat mendaftar di Kepolisian Negara aku lolos test tanpa satu kendala apa pun. Dan, setelah menjalani pelatihan beberapa bulan pangkat Ipda sudah bisa disematkan di pundakku.

Waktu terus bergulir. Pangkat demi pangkat telah kulewati. Karierku kian membumbung, hidupku semakin  mapan.

***
Suatu senja di sebuah panti wreda di pinggiran kota.

Sepasang lansia duduk bersebelahan. Si suami penglihatannya sudah rabun. Demikian juga dengan istrinya.

"Kita menunggu apa?" tanya si istri sembari menumpangkan satu tangan ke atas pangkuan suaminya.

"Menunggu Begundal."

"Memang Begundal itu siapa?"

"Anak kita.'

"Memang kita punya anak?"

Lalu keduanya tertawa. Sampai keluar air mata.

Ya. Setelah bertahun-tahun tinggal di panti wreda terpencil itu mereka tak lagi berani berharap, seorang pria gagah berseragam polisi bakal datang, berkunjung, mencium pipi mereka yang keriput seraya berseru hormat, "Ayah, Ibu, aku anakmu --- Begundal, kini sudah menjadi seorang jenderal!"

***
Malang, 21 Oktober 2021
Lilik Fatimah Azzahra

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun