"Begundal, Bu guru. Begini ejaannya. B, e, g, ...."
"Ayaaah, aku kebelet pipis!"
***
Di bangku Sekolah Dasar hari-hariku boleh dibilang sangat tidak menyenangkan. Nama pemberian ayah sering dibuat bahan olokan-olokan. Terutama saat pulang sekolah, saat berpapasan dengan ibu-ibu yang menjemput anak-anak mereka.
"Ndal, dijemput bapakmu lagi, ya?" Salah seorang ibu mulai memancing percakapan agar ibu-ibu yang lain menanggapi.
"Iyalah. Siapa lagi yang akan menjemput dia. Begundal kan anak kesayangan bapaknya. Eh, ngomong-ngomong ada yang tahu tidak apa arti kata begundal?"
"Kalau tidak salah begundal itu artinya ..."
Untunglah ayah segera datang menjemputku, dengan sepeda tuanya.
***
Masuk SMP, nama pemberian ayah semakin gencar dijadikan bahan cemoohan. Pelakunya bukan lagi ibu-ibu. Melainkan teman-teman sebayaku sendiri.
Awalnya aku tidak menggubris cemoohan mereka. Tapi ketika sudah membawa-bawa nama ayah --- dengan mengatakan ayah laki-laki gila karena tega memberi nama aneh pada anaknya, aku tak lagi banyak bicara. Kutinju langsung mulut temanku yang kurang ajar itu. Sekuat tenagaku.
Tapi teman yang kutinju tidak tinggal diam. Ia balas meninjuku dengan pukulan jauh lebih keras. Ujung-ujungnya kami berkelahi hebat.