Meski pulang dengan wajah babak belur aku merasa sangat puas. Paling tidak aku telah menjadi anak yang berbakti karena sudah berani membela kehormatan ayah.
"Astagaaa, Gun. Kamu berkelahi lagi? Lihat, Sur! Mau jadi apa anakmu kelak?" Melihat kondisiku ibu berteriak cemas. Lalu memarahi ayah habis-habisan.
"Biarlah Begundal menjadi dirinya sendiri.' Ayah menanggapi dengan santai. "Oh, ya, anak laki-laki berkelahi itu biasa. Apalagi jika tujuannya membela kehormatan orangtua, aku bangga!"
Lagi-lagi, tangan Ayah yang tak lagi kekar mengacak-acak rambut kusutku.
***
Aku merasa telah menjadi lelaki dewasa ketika menanggalkan seragam putih abu-abu, masuk perguruan tinggi, dan lulus sebagai mahasiswa terbaik.
Nasib baik terus berpihak kepadaku. Saat mendaftar di Kepolisian Negara aku lolos test tanpa satu kendala apa pun. Dan, setelah menjalani pelatihan beberapa bulan pangkat Ipda sudah bisa disematkan di pundakku.
Waktu terus bergulir. Pangkat demi pangkat telah kulewati. Karierku kian membumbung, hidupku semakin  mapan.
***
Suatu senja di sebuah panti wreda di pinggiran kota.
Sepasang lansia duduk bersebelahan. Si suami penglihatannya sudah rabun. Demikian juga dengan istrinya.
"Kita menunggu apa?" tanya si istri sembari menumpangkan satu tangan ke atas pangkuan suaminya.
"Menunggu Begundal."