“Mm...Darsih tidak ikut makan bersama kita, Bu?” tanyaku seraya menarik kursi.
“Ia bilang, sudah makan tadi,” sahut Ibu seraya membuka tudung saji. Dan, woow...mataku seketika terbelalak.
“Dia yang masak semua makan malam ini, Bu?” aku menatap Ibu. Tidak percaya. Ibu mengangguk.
“Makanlah, Peb,” Ibu tersenyum sembari menyodorkan piring ke arahku.
Dan malam itu, perutku benar-benar termanjakan.
Masakan Darsih, calon istri pilihan Ibu, sungguh, teramat sangat lezat.
***
Darsih tidak datang setiap hari. Hanya satu minggu sekali. Itu pun selalu pada malam hari. Esoknya, saat aku bangun tidur, ia tidak akan terlihat lagi. Sudah pergi.
Ini akhir minggu ketiga. Entah mengapa aku enggan pergi ke mana-mana. Sejak sore aku hanya duduk-duduk santai di depan televisi.
“Peb, malam ini Darsih tidak datang memasakkan makan malam buat kita,” Ibu memberi tahu.
“Loh, kenapa?” aku bertanya kecewa. Padahal aku sangat mengharapkan kedatangan dia. Racikan kopi dan masakannya telah mencuri hatiku.