“Di tempat tidur juga?” selorohku. Ibu tertawa.
“Tidak sejauh itu, Pebrianov! Ia hanya akan melayanimu di seputar isi perutmu.”
Aku tidak menyela. Hanya mengangkat bahu sedikit. Biarlah. Semua kuserahkan kepada Ibu. Yang terpenting, hati wanita yang telah melahirkanku itu gembira.
***
Calon yang dijanjikan Ibu benar-benar datang. Ia mengenakan pakaian sederhana, bersandal jepit, dan---wajahnya tertutup kerudung rapat. Ia hanya menyisakan sedikit lubang kecil pada bagian kedua matanya.
Jujur aku tidak terlalu serius menanggapi kehadiran perempuan itu. Aku lebih memikirkan perasaan Dessy. Tentu saat ini ia tengah menangis bombay karena aku putuskan cinta sepihak begitu saja.
Huft, andai saja aku mampu menolak keinginan Ibu. Ah, Dessy, kuharap kamu bisa mengerti. Aku lakukan semua ini semata-mata demi Ibu. Rasa cintaku kepada Ibu begitu besar. Meski harus kuakui, tak ada perempuan lain yang mampu menggantikan posisimu di hatiku. Tidak juga calon pilihan Ibu yang saat ini sengaja dihadirkan di rumah ini.
“Ini minumnya, Mas Peb,” suara lirih itu mengagetkanku. Perempuan berkerudung itu sudah berdiri di hadapanku, meletakkan secangkir kopi di atas meja. Sepintas aku meliriknya. Tak ada yang istimewa. Ia tampak biasa-biasa saja. Hanya yang membuatku heran, mengapa ia menutupi wajahnya dengan kerudung hitam sedemikian rupa? Jangan-jangan... ia memiliki wajah yang tidak sempurna.
“Minumlah, Peb. Rasakan nikmatnya kopi buatan Darsih,” Ibu menyentuh pundakku. Darsih? Jadi perempuan berkerudung rapat itu bernama Darsih?
Lagi, demi menyenangkan hati Ibu aku terpaksa menyeruput kopi di hadapanku. Slruuup...eh, Ibu benar. Ternyata kopi buatan Darsih begitu nikmat!
“Makan malam juga sudah tersedia, mas Peb,” suara lirih itu lagi. Kali ini Ibu menggamit lenganku. Mengajakku menuju meja makan.