Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Memasukan Pasal Zina Ke RUU P-KS, Tepatkah?

23 September 2020   14:28 Diperbarui: 23 September 2020   14:46 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi mendujung RUU P-KS:Liputan6.comRUU PKS, Lindungi Korban dari Sikap Aparat Hukum yang Melecehkan ...

Beberapa hari belakangan diksurusus mengenai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kembali berkembang, baru-baru ini BEM UI, BEM Universitas Brawijaya, BEM KGM UGM, dan BEM Unpad membuat video dukungan kepada RUU P-KS. Terdapat beberapa komentar menarik dalam kolom komentar, salah satu yang cukup sering dan menarik bagi saya untuk diulas adalah tudingan bahwa "RUU P-KS melegalisasi dan mendukung zina". Sebenarnya patut dicatat bahwa sebenarnya RUU P-KS tidak melegalisasi zina, namun tidak mengkriminalisasi tindakan perzinahan, sebuah miskonsepsi yang sebenarnya saya sudah bahas dalam artikel saya sebelumnya. Jadi kalau dibilang RUU P-KS melegalkan zina tentu sebuah pernyataan sangat menyesatkan.

Namun, terlepas dari fakta tersebut beberapa orang tetap menuding bahwa RUU P-KS bertentangan dengan agama karena tidak mengkriminalisasi zina. Nah kalau argumennya seperti ini tentu dapat menjadi pembahasan yang menarik untuk dibahas. Sedikit, disclaimer saya hanya akan membahas dari perspektif hukum Islam, karena itu satu-satunya hukum agama  yang saya pelajari, dan toh politisi yang menggunakan argumen tersebut berlatar belakang Parpol Islam.

Saya tidak akan membahas apakah zina dilarang atau tidak dalam hukum Islam, karena sudah cukup umum diketahui bahwa dalam Al-Qur'an dan Hadist zina dilarang. Yang saya akan bahas disini adalah kalaupun mau diadopsi dalam hukum nasional, apakah tepat apabila pasal zina dimasukan ke dalam RUU P-KS, atau RUU KUHP?

Dengan demikian, saya akan membahas adalah bagaimana proses pembuktian atau hukum acara zina dan kekerasan seksual baik dalam hukum Islam, KUHAP, dan draf RUU P-KS. Selain itu saya juga akan membahas apakah zina dan kekerasan seksual secara fundamental merupakan hal yang sama, sehingga bisa menjawab pertanyaan sebelumnya telah dibuat.

Oke, apa itu hukum acara pidana?

Menurut R. Soerso, hukum acara pidana adalah "kumpulan ketentuan-ketentuan dengan tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum dalam hukum materiil yang berarti memberikan kepada hukum acara suatu hubungan yang mengabdi pada hukum materil".

Dari pendapat tersebut jelas bahwa hukum acara pidana membahas mengenai usaha mencari kebenaran dan keadilan apabila terdapat dugaan pelanggaran hukum. Hal penting yang patut dicatat adalah hukum acara "harus mengabdi pada hukum materil" sederhananya ketentuan pencarian kebenaran tersebut harus selaras dengan apa yang mau dibuktikan, untuk mendapatkan keadilan.

Untuk memahami seberapa penting hubungan hukum acara pidana dengan hukum materilnya, adalah dengan melihat demo penolakan Revisi Undang-Undang KPK. Karena, sebenarnya tanpa ada Undang-Undang KPK maupun Undang-Undang Tipikor sekalipun, beberapa bentuk korupsi tetap bisa diproses dan dipidana. Namun, apabila kedua Undang-Undang tersebut dicabut atau dilemahkan tentu proses "pencarian kebenaran" tersebut akan lebih sulit karena proses hukum dan institusi yang secara khusus diatur secara khusus untuk memberantas korupsi otomatis hilang. Padahal, tindak pidana korupsi memiliki kompleksitasnya sendiri yang akan sulit diusut dan menghadirkan rasa keadilan tanpa instrumen-instrumen khusus tersebut. Paradigma penyesuaian hukum acara juga berlaku dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Anak, dimana proses hukum acara pidana dirancang untuk dapat lebih bersahabat dengan anak.

Dengan demikian, hal yang perlu dipertimbangkan untuk mewacanakan suatu undang-undang yang memidanakan sesuatu tindakan, adalah apakah hukum acaranya sesuai dengan tindak pidananya, maupun subjek yang diatur. Mengatur suatu tindak pidana tanpa memperhatikan apakah selaras dan dikdukung dengan hukum acara pidana yang tepat merupakan tindakan yang tidak efektif atau bahkan justru berpotensi menimbulkan masalah yang lebih besar lagi.

Bagaimana Hukum Acara dalam RUU P-KS dibandingkan dengan KUHAP

Karena kekerasan seksual belum diatur secara khusus, maka selama ini hukum acaranya mengacu pada KUHAP. Hal tersebut pula yang dikritik dalam naskah akademik RUU P-KS, karena KUHAP memiliki proses pembuktian yang cenderung lebih sulit untuk melindungi tersangka dan terdakwa. Paradigma KUHAP yang dirancang untuk melindungi terdakwa dan tersangka sebenarnya tidak salah, karena perlindungan hak-hak tersangka dan terdakwa merupakan hal yang penting dalam hukum. 

Hal yang menjadi permasalahan adalah karena tindakan kekerasan seksual cenderung sulit untuk dibuktikan, selayaknya tindak pidana korupsi. Sehingga hukum acara pidana konvensional cenderung sulit untuk memungkinkan pembuktian, dan pada akhirnya sulit menimbulkan rasa keadilan. Maka, tidak heran apabila Undang-Undang yang mengatur tindak pidana korupsi memberi serangkaian pengaturan yang mempermudah pembuktian, hal tersebut jugalah yang diupayakan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Secara umum alat bukti berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Patut dipahami bahwa alat bukti tersebut memiliki limitasi, keterangan satu saksi hanya dapat dianggap sebagai bukti apabila disertai alat bukti yang lainnya atau terdapat setidaknya dua saksi, sehingga sangat sulit untuk membuktikan suatu perkara yang hanya memiliki satu saksi. Sebenarnya keberadaan satu saksi, dapat diperkuat dengan keterangan  korban, namun dalam pembuktian melalui KUHAP seringkali terbentur karena keterangan korban terkadang tidak dipertimbangkan oleh hakim. Bahkan seringkali keterangan saksi tersebut dihubungkan dengan hal-hal yang tidak relevan seperti perilaku, cara berpakaian, sampai kelua rumah di malam hari, yang menjurus pada victim blaming.

Selain itu, terdapat pembatasan misalnya keluarga atau semenda sampai garis tertentu, saudara terdakwa, dan suami istri hanya bisa bersaksi apabila bersedia, dan disetujui penuntut umum dan terdakwa. Sehingga akan sangat mempersulit pembuktian kasus kekerasan seksual di ranah-ranah keluarga seperti marital rape.

Persoalan lain yang juga muncul adalah hakim yang tidak mempertimbangkan keterangan psikolog sebagai alat bukti dalam pengadilan. Hal tersebut tentu menyulitkan pembuktian, sebab keterangan dokter, yang selama ini secara universal diakui sebagai alat bukti oleh hakim kerap kali sulit memberikan bukti dalam kasus-kasus kekerasan seksual. Sehingga, pengakuan hukum secara tegas atas kekuatan keterangan Psikolog dalam pembuktian dapat menjadi alat bukti yang krusial dalam kasus-kasus kekerasan seksual. 

Maka tidak heran apabila RUU P-KS memperluas alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 44-45 RUU tersebut:

 

"Pasal 44 

(1) Alat bukti dalam pemeriksaan pada setiap tahapan perkara Kekerasan Seksual dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. 

(2) Alat bukti lain yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi:

a. surat keterangan psikolog dan/atau psikiater;

b. rekam medis dan/atau hasil pemeriksaan forensik;

c. rekaman pemeriksaan dalam proses penyidikan;

d. informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu ;

e. dokumen; dan

f. hasil pemeriksaan rekening bank.

 

Pasal 45 

(1) Keterangan seorang Korban sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila disertai dengan satu alat bukti lainnya.

(2) Keterangan Saksi dari Keluarga sedarah, semenda sampai dengan derajat ketiga dari Korban dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah menurut Undang-Undang ini.

(3) Keterangan Korban atau Saksi anak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keterangan Korban atau Saksi lainnya.

(4) Keterangan Korban atau Saksi orang dengan disabilitas mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keterangan Korban atau Saksi selain orang dengan penyandang disabilitas.

(5) Ketentuan Saksi yang disumpah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dikecualikan terhadap keterangan Korban atau Saksi anak dan/atau orang dengan disabilitas di hadapan pengadilan."

 

Terdapat beberapa poin penting disitu, seperti penegasan kekuatan pembuktian keterangan korban, keterangan psikolog, sampai perluasan cakupan keterangan saksi yang dapat dianggap memiliki kekuatan hukum. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa RUU P-KS mempermudah pembuktian untuk kasus kekerasan seksual dibandingkan dengan tindak pidana umum.

 

Pembuktian Kekerasan Seksual dan Zina dalam Hukum Islam

 

Penulis tidak menemukan Ayat Al-Qur'an yang membahas mengenai pembuktian dalam kasus pemerkosaan, namun tindakan Nabi Muhammad S.A.W sebagaimana penulis kutip dalam Skripsi Marital Rape (Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Terhadap Istri) Perspektif Hukum Islam dan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang ditulis oleh Hasmila adalah sebagai berikut:

 

"Selama masa nabi SAW hukuman ditimpahkan pada si pemerkosa dari bukti-bukti soliter dari wanita yang diperkosa. Laporan insiden ketika seorang wanita diperkosa. Kemudian, ketka beberapa orang datang, dia mengidentifikasi dan pria itu memperkosanya. Mereka menangkapnya dan membawanya kerasul Allah, yang mengatakan kepada perempuan itu, " pergilah, karna allah telah mengampuni kamu," tapi pria yang telah memerkosanya, iya berkata, "batu sampai mati." (tirmizi dan abu dawud).

Selama waktu ketika umar adalah khalifah, seorang wanita menuduh putranya abu shahma memperkosa dirinya, dia membawa bayi yang lahir dari insiden ini dengan dia kemesjid dan berbicara secara terbuka tentang apa yang terjadi. Umar (RA) meminta anaknya yang mengakui melakukan kejahatan dan dihukum sebagaimana mestinya dan disana kemudian tidak ada hukuman yang diberikan kepada perempuan itu."

Apabila dilihat dengan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional, maka dapatlah dikatakan bahwa Nabi Muhammad S.A.W membuat keputusan berdasarkan keterangan korban, meskipun dalam skripsi tersebut tidak teralu jelas apakah keterangan korban tersebut merupakan satu-satunya pertimbangan Nabi Muhammad S.A.W. atau terdapat bukti-bukti lainnya. Sementara Umar, mengambil keputusan untuk menghukum tersangka kasus pemerkosaan berdasarkan dua alat bukti yaitu keterangan saksi korban dan keterangan tersangka.

Dengan demikian, dalam pandangan penulis proses pengambilan keputusan yang dicontohkan oleh Umar dan Nabi Muhammad S.A.W bahkan lebih mudah dibandingkan beberapa kasus di Indonesia berdasarkan KUHAP yang tidak mengatur secara tegas kekuatan pembuktian keterangan korban, sehingga hakim beberapa kali tidak mempertimbangkan keterangan korban.

Sementara, berbanding terbalik dengan pemerkosaan, pembuktian dalam kasus zina dalam hukum Islam memiliki beban pembuktian yang sangat berat sebagaimana diamanatkan Q.S An-Nur ayat 4-5:

 "Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) kemudian mereka tidak mampu mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya)"

Kekhususnan dalam kasus perzinahan adalah karena perkara tersebut memerlukan empat orang saksi, terlebih lagi siapapun yang melakukan laporan zina tanpa ada empat orang saksi juga diancam dengan hukuman. Hal tersebut tentu tidak ditemukan dalam tindakan pidana apapun dalan hukum Islam. Bahkan syarat untuk dijatuhkannya hukuman tersebut juga sangat sulit sebagaimana dijelaskan Abiddin Nata, yang dikutip oleh Al Yasa' & Iqbal Maulana dalam jurnalnya:

1. Hukuman dapat dibatalkan bila masih terdapat keraguan terhadap peristiwa perbuatan zina itu. Hukuman tidak dapat dijalankan melainkan setelah benar- benar diyakini terjadinya perzinaan.

2. Untuk meyakini perihal terjadinya perzinaan tersebut, haruslah ada empat orang saksi laki-laki yang adil. Kesaksian empat orang wanita tidak cukup untuk dijadikan bukti, hal ini sama dengan bersaksinya empat orang laki-laki yang fasiq.

3. Kesaksian empat orang laki-laki yang adil sebagaimana yang disebutkan diatas masih memerlukan syarat, yaitu bahwa masing-masing mereka melihat persis proses perzinahan itu, seperti ketika masuknya kemaluan laki-laki ke liang kemaluan si wanita tersebut. Persyaratan ini sepertinya agak sulit terpenuhi.

4. Andaikata seorang dari keempat saksi mata tersebut menyatakan kesaksian yang berbeda dari kesaksian tiga orang saksi lainnya, atau salah seorang saksi mencabut kesaksiannya, maka terhadap mereka (saksi) semuanya dijatuhi hukuman Qadzaf yakni menuduh orang lain berzina dengan dera/jilid sebanyak 80 kali.

5. Menurut wahbah zuhaili dalam kitab Fiqh Imam Syafi'I mengatakan bahwa para saksi dalam menyampaikan kesaksiannya haruslah mengawali ucapannya dengan kalimat ashadul 'ala annahu zana biha (aku bersaksi bahwa dia telah berzina dengan perempuan itu), dengan menyebutkan tempat perzinaan dilakukan.

Hal lain yang dapat menjadi dasar dijatuhkannya sanksi atas perkara zina adalah pengakuan, itupun menurut beberapa sumber perlu dilakukan secara empat kali di tempat yang berbeda-beda. Al Yasa' & Iqbal Maulana mennyimpulkan bahwa bahkan dibandingkan pembuktian zina dalam KUHP dan KUHAP, pembuktian zina dalam fiqih lebih sulit. Mereka juga mengutip pandangan Sayyid Sabiq, ulama kontemporer Mesir sebagai berikut;

"Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa persyaratan untuk menjatuhkan had atau hukuman zina ini sangat sulit terpenuhi. Dan inilah sebabnya hukuman tersebut lebih ditekankan sebagai upaya pencegahan (preventive) dari pada pembalasan."

Dalam pandangan penulis. Terdapat perbedaan yang kontras antara bagaimana Hukum Islam mengatur mengenai perzinahan dan kekerasan seksual. Ketika sesorang mengaku diperkosa maka orang tersebut tidak diwajibkan untuk membawa empat orang saksi, dan diancam dengan hukuman apabila tudingannya tersebut salah. Sementara dalam kasus zina membawa empat orang saksi menjadi hal yang wajib, kalau tidak maka pelapor diancam dengan hukuman.

Bagaimana Umar dan Nabi Muhammad memperlakukan perempuan yang mengaku diperkosa, dalam pandangan penulis juga sangat menarik. Dimana keduanya sebagai Ulil Amri bertindak secara pro-aktif untuk membantu korban dalam pembuktian dugaan pemerkosaan. Apabila kita bandingkan dengan kasus perzinahan, penulis tidak menemukan ada indikasi bahwa Ulil Amri perlu bertindak secara Pro-Aktif untuk membuktikan laporan tersebut, justru dalam beberapa literatur ketikapun terdapat pengakuan, si yang mengaku tetap diminta untuk mengaku tiga kali lagi. Selain itu, dalamalam kasus periznahan yang melakukan tuduhanlah yang diwajibkan untuk mendatangkan saksi-saksi untuk membuktikan dalil-dalilnya.

Perbedaan Kekerasan Seksual & Zina

Perdebatan mengenai apakah zina dan Pemerkosaan merupakan ranah hukum yang sama dalam persepektif Islam merupakan perdebatan yang menarik. Dalam pemahaman penulis, zina membahas mengenai hubungan sex di luar nikah atau di dalam pernikahan, sementara kekerasan seksual membahas mengenai apakah hubungan secara paksa atau tidak. Sebagaimana telah dibahas, hukum Islam tidak menghendaki hubungan sex di luar nikah maupun hubungan seksual secara paksa.

Namun apakah hubungan seks dalam pernikahan otomatis secara serta merta merupakan tindakan yang sah terlepas dilakukan secara paksa atau tidak? Berdasarkan beberapa literatur ilmiah yang penulis pernah rangkum dalam artikel sebelumnya, jawabannya adalah tidak. Sebab salah satu prinsip penting dalam hubungan suami-istri adalah musyarah bi al mar'ruf sehingga pemaksaan tidak dibenarkan. Dengan demikian, status perkawinan tidak relevan dengan kekerasan seksual, sebab dalam perkawinanpun tetap mungkin terjadi kekerasan seksual.

 

Mengutip Hasmila, dalam Hukum Islam pemerkosaan bukan merupakan sub kategori zina, sebagaimana dijelaskan dalam skripsinya:

 

...Selain itu, maliki hakim ibnu 'arabi' menceritakan sebuah kisah dimana kelompok diserang dan seorang wanita dipartai mereka diperkosa. Menanggupi argumen bahwa kejahatan itu merupakan hirdbah karena uang tidak diambil dan tidak ada senjata yang digunakan, ibnu 'arabi' menjawab dengan marah bahwa " hirdbah dengan bagian pribadi" adalah jauh lebih buruk dari pada hirdbah melibatkan pengambilan uang, dan siapapun lebih suka dikenakan yang terakhir dari mantan.

Kejahatan perkosaan diklasifikasikan bukan sebagai sub kategori 'zinah' (konsensus perzinahan) melainkan sebagai kejahatan yang terpisah kekerasan dibawah hirdbah. Kalsifikasi ini adalah logis, sebagai 'mengambil' adalah milik korban (otonomi seksual korban pemerkosaan itu) dengan kekerasan. Dalam islam, otonomi seksual dan kesenangan adalah hak dasar perempuan dan laki-laki (ghazali), mengambil dengan paksa hak seseorang untuk mengontrol aktifitas seksual dari tubuh seseorang dengan demikian merupakan bentuk hirdbah.

Perkosaan sebagai hirdbah adalah kejahatan kekerasan yang menggunakan hubungan seksual sebagai senjata. Fokus dalam peuntutan hirdbah adalah pemerkosa terdakwa dan niat dan tindakan fisik, dan tidak menebak-nebak persetujan korban pemerkosaan. Hirdbah tidak memerlukan 4 orang saksi untuk membuktikan pelanggaran, bukti, data medis, dan bentuk kesaksian ahli bukti yang digunakan untuk menuntut kejahatan tersebut.

 Sementara, kajian lain  membedakan zina dengan pemerkosaan karena dalam pemerkosaan terdapat unsur unsur ikrah, dan aniya tehadap sehingga untuk orang yang memaksa masuk ke dalam kategori pezina, sementara bagi korbannya tidak.

 

Namun, ketika mempertimbangkan bagaimana hukum Islam membedakan penanganan kasus kekerasan seksual dan zina serta beberapa literatur menunjukan bahwa dalam Hukum Islam pemaksaan hubungan suami-istri juga dilarang. Dalam pandangan penulis menganggap kekerasan seksual sebagai tindak pidana yang masuk ke golongan yang berbeda sama sekali dengan zina lebih tepat dibandingkan pandangan bahwa pemerkosaan merupakan zina dengan unsur ikrah dan aniya.

Kesimpulan 

Kembali lagi ke pembahasan penulis di atas, untuk dapat mencapai tujuannya dengan optimal suatu ketentuan pidana harus didukung dengan hukum acara yang sesuai. Pengaturan hukum acara khusus bukan merupakan hal yang baru di Indonesia, khususnya untuk perkara-perkara yang membutuhkan perlakukan khusus, sebelumnya kita melakukan hal tersebut dalam Undang-Undang Tipikor, Undang-Undang KPK, dan Undang-Undang SPPA.

Hal tersebut merupakan salah satu upaya yang juga digagas dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dimana terdapat perluasan alat bukti yang dapat menjadi dasar hakim untuk menjatuhkan hukuman. Perluasan alat bukti dan jaminan hak korban diharapkan menciptakan keadilan bagi kasus-kasus kekerasan yang selama ini sangat sulit untuk dibuktikan dan menjadi proses mencari keadilan justru menjadi pengalaman yang traumatis bagi korban.

Karena harus sesuai dengan tindakan pidananya, pembuktian tidak boleh teralu renggang dan hukum acara tetap melindungi hak-hak sipil masyarakat. Coba saja bayangkan kalau beragam ketentuan khusus dalam Undang-Undang Tipikor dan Undang-Undang KPK seperti penyadapan, masa penahanan yang lama, operasi tangkap tangan, sampai pembuktian terbalik diterapkan pada kasus seperti copet atau maling sendal. Tentu hal tersebut menjadi berlebihan, semakin mudah pembuktian dan besar kewenangan negara semakin terancam pula privasi dan rasa tenang kita dari gangguan akibat tudingan tidak berdasar.

Hal yang sama juga relevan dengan pengaturan mengenai kekerasan seksual maupun zina. Meskipun apakah kekerasan seksual merupakan sub-kategori zina atau tidak masih dapat diperdebatkan, namun yang jelas ketentuan hukum acara kedua delik tersebut dalam hukum Islam sangat berbeda. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dirancang untuk mempermudah pembuktian dibandingkan KUHAP yang berlaku sekarang. Hal tersebut selaras dengan contoh yang penulis temukan mengenai pembuktian kekerasan seksual dalam fiqih yang relatif mudah, dan terdapat peran Ulil Amri yang besar dalam mengupayakan pembuktian.

Sementara apabila dibandingkan dengan KUHAP saja pembuktian zina dalam Fiqih jauh lebih sulit, apalagi dibandingkan dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Memaksakan masuknya pasal zina dalam RUU P-KS sama saja membuka kemungkinan dijatuhkannya hukuman zina tanpa ada empat saksi yang layak sebagaimana dalam fiqih. Sementara dalam Al-Qur'an, jangankan memidana seseorang yang berzina tanpa ada empat saksi, menuduh saja sudah merupakan tindakan yang diancam dengan hukuman.

Selain itu, mengatur dua hukum acara dalam satu udang-undang yang sama tanpa menimbulkan salah tafsir dan penerapan yang berantakan tentu merupakan tugas yang tidak realistis bagi perancang undang-undang. Sehingga ide bahwa RUU P-KS mengatur zina dan kekerasan seksual dalam satu undang-undang dan tiap delik memiliki ketentuan hukum acaranya sendiri dalam undang-undang tersebut juga ide yang sangat buruk.

Dalam pandangan penulis, ketika mempertimbangkan hukum Islam sekalipun, pasal zina maupun kesusilaan tidak tepat apabila dimasukan ke dalam RUU P-KS, atau RUU KUHP sekalipun. Al-Qur'an dan hadist sudah secara sempurna untuk mengatur ketentuan tersebut secara berbeda dengan tindak pidana lainnya maka jangan sampai kita mengaturnya tanpa batasan-batasan yang telah diatur dalam hukum Islam.

Menarik juga untuk mempertimbangkan pandangan beberapa penulis yang melihat ancaman hukuman zina sebenarnya lebih berorientasi pada pencegahan alih-alih pembalasan karena sangat sulitnya pembuktian. Mungkin, urgensi untuk mengadopsi pasal zina dalam hukum pidana perlu dipertimbangkan kembali. Mengigat kekhususannya, kalaupun zina mau diatur format paling realistis adalah rancangan undang-undang baru yang dapat mengakomodasi kekhususan pembuktiannya alih-alih memaksakannya masuk dalam draf RUU yang tidak dirancang dengan kekhususan tersebut, sehingga kekhususannya dalam pembuktian sampai kriteria saksi dapat diakomodasi. Jangan sampai teralu semangat menghukum sampai melupakan proses menghukum yang benar.

Referensi:

Al-Qur'an

Indonesia, Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No.9 Tahun 1981, LN No.76 Tahun 1981, TLN No. 3209.

Sofyan, Muhammad dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana. Ed.2. Cet. 3.Jakarta: Kencana, 2014.

Hasmila. "Marital Rape (Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Terhadap Istri) Perspektif Hukum Islam dan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga." Skripsi Sarjana Universitas Islam Negeri Alauddin, Makassar, 2017

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Naskah Akademik Rancangan Undang-       Undang Kekerasan Seksual. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2017.

Abubakar, Al Yasa' dan Iqbal Maulana. "Alat Bukti dan Metode Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Zina." Legitimasi (Juli--Desember 2018). Hlm. 173--189.

Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Depok,  "Memahami Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Bingkai Perspektif Islam dan Hukum Nasional."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun