Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Memasukan Pasal Zina Ke RUU P-KS, Tepatkah?

23 September 2020   14:28 Diperbarui: 23 September 2020   14:46 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi mendujung RUU P-KS:Liputan6.comRUU PKS, Lindungi Korban dari Sikap Aparat Hukum yang Melecehkan ...

 Sementara, kajian lain  membedakan zina dengan pemerkosaan karena dalam pemerkosaan terdapat unsur unsur ikrah, dan aniya tehadap sehingga untuk orang yang memaksa masuk ke dalam kategori pezina, sementara bagi korbannya tidak.

 

Namun, ketika mempertimbangkan bagaimana hukum Islam membedakan penanganan kasus kekerasan seksual dan zina serta beberapa literatur menunjukan bahwa dalam Hukum Islam pemaksaan hubungan suami-istri juga dilarang. Dalam pandangan penulis menganggap kekerasan seksual sebagai tindak pidana yang masuk ke golongan yang berbeda sama sekali dengan zina lebih tepat dibandingkan pandangan bahwa pemerkosaan merupakan zina dengan unsur ikrah dan aniya.

Kesimpulan 

Kembali lagi ke pembahasan penulis di atas, untuk dapat mencapai tujuannya dengan optimal suatu ketentuan pidana harus didukung dengan hukum acara yang sesuai. Pengaturan hukum acara khusus bukan merupakan hal yang baru di Indonesia, khususnya untuk perkara-perkara yang membutuhkan perlakukan khusus, sebelumnya kita melakukan hal tersebut dalam Undang-Undang Tipikor, Undang-Undang KPK, dan Undang-Undang SPPA.

Hal tersebut merupakan salah satu upaya yang juga digagas dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dimana terdapat perluasan alat bukti yang dapat menjadi dasar hakim untuk menjatuhkan hukuman. Perluasan alat bukti dan jaminan hak korban diharapkan menciptakan keadilan bagi kasus-kasus kekerasan yang selama ini sangat sulit untuk dibuktikan dan menjadi proses mencari keadilan justru menjadi pengalaman yang traumatis bagi korban.

Karena harus sesuai dengan tindakan pidananya, pembuktian tidak boleh teralu renggang dan hukum acara tetap melindungi hak-hak sipil masyarakat. Coba saja bayangkan kalau beragam ketentuan khusus dalam Undang-Undang Tipikor dan Undang-Undang KPK seperti penyadapan, masa penahanan yang lama, operasi tangkap tangan, sampai pembuktian terbalik diterapkan pada kasus seperti copet atau maling sendal. Tentu hal tersebut menjadi berlebihan, semakin mudah pembuktian dan besar kewenangan negara semakin terancam pula privasi dan rasa tenang kita dari gangguan akibat tudingan tidak berdasar.

Hal yang sama juga relevan dengan pengaturan mengenai kekerasan seksual maupun zina. Meskipun apakah kekerasan seksual merupakan sub-kategori zina atau tidak masih dapat diperdebatkan, namun yang jelas ketentuan hukum acara kedua delik tersebut dalam hukum Islam sangat berbeda. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dirancang untuk mempermudah pembuktian dibandingkan KUHAP yang berlaku sekarang. Hal tersebut selaras dengan contoh yang penulis temukan mengenai pembuktian kekerasan seksual dalam fiqih yang relatif mudah, dan terdapat peran Ulil Amri yang besar dalam mengupayakan pembuktian.

Sementara apabila dibandingkan dengan KUHAP saja pembuktian zina dalam Fiqih jauh lebih sulit, apalagi dibandingkan dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Memaksakan masuknya pasal zina dalam RUU P-KS sama saja membuka kemungkinan dijatuhkannya hukuman zina tanpa ada empat saksi yang layak sebagaimana dalam fiqih. Sementara dalam Al-Qur'an, jangankan memidana seseorang yang berzina tanpa ada empat saksi, menuduh saja sudah merupakan tindakan yang diancam dengan hukuman.

Selain itu, mengatur dua hukum acara dalam satu udang-undang yang sama tanpa menimbulkan salah tafsir dan penerapan yang berantakan tentu merupakan tugas yang tidak realistis bagi perancang undang-undang. Sehingga ide bahwa RUU P-KS mengatur zina dan kekerasan seksual dalam satu undang-undang dan tiap delik memiliki ketentuan hukum acaranya sendiri dalam undang-undang tersebut juga ide yang sangat buruk.

Dalam pandangan penulis, ketika mempertimbangkan hukum Islam sekalipun, pasal zina maupun kesusilaan tidak tepat apabila dimasukan ke dalam RUU P-KS, atau RUU KUHP sekalipun. Al-Qur'an dan hadist sudah secara sempurna untuk mengatur ketentuan tersebut secara berbeda dengan tindak pidana lainnya maka jangan sampai kita mengaturnya tanpa batasan-batasan yang telah diatur dalam hukum Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun