Mohon tunggu...
Eki Saputra
Eki Saputra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Kita Tidak Perlu Tahu yang Ramai Diperbincangkan?

2 November 2021   18:45 Diperbarui: 2 November 2021   19:14 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi FOMO oleh Pixabay (Pixabay.com/thedigitalartist)

Mengetahui segala hal, barangkali adalah harapan semua orang. Ketika teman kita membicarakan tentang film favoritnya, kita diam-diam ingin tahu juga seseru apa film yang ia tonton. Saat teman Facebook sedang heboh membahas novel yang serinya berjilid-jilid, kita pun penasaran, semenarik apa cerita yang mereka baca. Belum lagi kasus artis A, B, C, dan D menyebar di setiap linimasa dalam bentuk artikel dengan judul umpan klik (clickbait), lagi-lagi kita terpancing untuk sekadar melihat-lihat.

Tahukah kamu? Kita melihat-lihat sesuatu karena didorong rasa ingin tahu. Kita tak sadar mencoba tahu semua yang sedang orang lain ketahui, kita terbuai gemerlapnya segala yang berbau kekinian. Padahal, sebelumnya kita belum tentu ingin tahu mengenai hal itu.

Banjir informasi yang begitu melimpah-limpah membuat kita terpaksa berenang-renang dalam aliran tak berujung. Tak tahu kapan berhentinya. Lama-kelamaan kita tenggelam di hilir informasi yang "tidak penting". Kita kehilangan batas antara hal-hal yang patut untuk diketahui dan tidak diketahui. 

Kita bukan lagi mencari informasi karena sejak awal ingin tahu, melainkan kita disodorkan jutaan informasi yang mesti diketahui. Jangan lupa keberadaan informasi palsu, tentu saja mereka membaur sebagai racun yang mematikan jiwa kritis kita.

Tetapi ada yang lebih menakutkan lagi daripada itu semua, yakni perasaan kita sungguh sudah berubah. Semula perasaan sekadar hanya ingin tahu, kini telah menjelma menjadi sangat perlu tahu. Kecemasan itu menghantui kita setiap kali tidak memahami hiruk-pikuk yang sedang orang-orang bicarakan.

Fenomena ini lebih dikenal dengan istilah Fear Of Missing Out (FOMO). FOMO adalah rasa takut merasa ketinggalan akan sesuatu. Entah ketinggalan sesuatu yang baru, seperti berita, gosip, tren, film, dan hal lainnya.

***
Dahulu, saat saya masih SMP, saya sering meledek teman-teman yang ketinggalan kabar terbaru dengan sebutan kudet (kurang update). Lalu sewaktu SMA, masa-masa ponsel Android dan Blackberry menjamur, selama tiga tahun giliran saya pula mengalami zaman kudet. 

Sebab pada masa itu, saya belum memiliki akses teknologi canggih seperti kawan-kawan saya. Pun di rumah, televisi kami lebih sering menampilkan gerombolan semut-semut. Jika beruntung, sore hari, sepulang sekolah saya bisa menonton cerdas cermat di TVRI.

Saya tak tahu segala kehebohan tren teman-teman saya di masa itu. Saya memang sudah kenal Facebook dan Twitter (lewat tradisi meminjam ponsel teman), tapi di sana saya lebih banyak menulis kalimat-kalimat tidak penting. Isinya tak jauh-jauh mengenai pengalaman saya di hari itu. 

Pernah saya menulis, "Senior kampret! Kenapa saya lagi yang kena." Atau saya bergaya remaja sok bijak berkhotbah, "Cinta adalah anugerah yang patut disyukuri." Medsos saya, barangkali jadi mirip semacam kitab diari remaja tanggung yang gelisah menyambut kedewasaan.

Demikianlah, saya akui tren mungkin sudah lama ada, tapi saya jarang mengikuti isu dan gaya mutakhir yang ketika itu belumlah segemerlap seperti sekarang ini--- atau mungkin karena saya mendedikasikan diri sebagai hantu penjaga perpustakaan di tahun-tahun itu.

Zaman pun bergeser. Harus saya akui, bahwa media sosial tak lagi cuma menyangkut urusan kita sendiri atau orang di sekitar kita. Masing-masing orang mulai menjadikannya ruang untuk berdiskusi, berbaur, dan berbagi semua yang ingin dibagikan.

Banyak hal yang sulit dilakukan di dunia nyata, kini dapat terwujud berkat dunia maya. Misalnya, Kadang-kadang media sosial jadi tempat bergunjing dan menghujat artis yang terkena skandal, kadang menjadi ajang panggung debat melebihi acara debat politik di dunia nyata. 

Lain waktu berguna menjadi ruang berkerumun menyerang kriminal yang keji, lain waktu lagi mempermasalahkan tetangga sebelah rumah yang jarang menyapu daun mati, dan yang paling tak terbendung, yaitu sebagian pengguna berebut ingin menjadi pusat perhatian dan viral, entah lewat video goyangan erotis, membuat statemen nyeleneh, berita palsu, konten creepy, dsb.

Perubahan amat drastis ini sejalan dengan naiknya pengguna internet di Indonesia. Menurut laporan HootSuite , pengguna internet di Indonesia di awal tahun 2021 sudah mencapai 202,6 juta jiwa, sedangkan total penduduk Indonesia sebesar 274,9 juta jiwa.

Wajar, jika hari ini semua orang memiliki kehidupan sendiri-sendiri di dunia maya. Bumi memang masih bulat dan berukuran sama. Akan tetapi, dunia meluas terbagi dalam lapisan-lapisan tak kasat mata. Tiga lapisan itu, yakni realitas fisik, realitas fiksi, dan dunia maya.

Sekarang, kembali ke bahasan awal, bisakah kita tetap baik-baik saja tanpa mengikuti pola tiga lapis dunia itu?

Realitas fisik ialah dunia apa adanya, yang tampak oleh mata kita sekarang. Sedangkan realitas fiksi --- istilah ini diperkenalkan oleh Yuval Noah Harari --- adalah segala hal yang tak bisa ditangkap oleh indera kita, tetapi kita sepakat bahwa itu benar-benar ada. Negara, nilai tukar uang, kepercayaan, cinta, adalah contoh realitas fiksi.

Lalu bicara tentang dunia maya. Bisakah kita menghindari keberadaan lapisan ini, sementara kita sadar bahwa kehidupan di masa sekarang telah melangkah ke realitas yang baru dan lebih maju? Di masa depan, realitas virtual akan betul-betul mewujud dan mungkin mengambil alih realitas fisik hari ini (sebagaimana misi pendiri Facebook yang baru-baru ini mengganti nama perusahaannya menjadi Meta). Perlukah kita melepaskan semuanya?

Jangan lupa, ibu-ibu kita, bapak-bapak kita, kakek-nenek kita yang belum mengenal teknologi internet, ataupun orang-orang yang tinggal di wilayah terpencil, mereka hidup dan baik-baik saja sekarang. Padahal mereka memiliki dua dunia saja, yaitu realitas fisik dan fiksi.

Tetapi bukan itu poin yang bisa kita tiru --- Hei! Lagi pula, kita tak bisa menolak kemajuan zaman. Menghindari sepenuhnya internet bukanlah solusi masuk akal melawan banjir informasi tak berguna. Kita sejatinya membutuhkan internet bahkan media sosial demi menunjang aktivitas kita sehari-hari.

Jadi apa yang perlu kita lakukan?

Membatasi diri. Informasi diibaratkan sebagai air. Kita bukanlah tanah yang siap menyerap semua jenis air di atas permukaan untuk didaur ulang menjadi uap awan. Kita makhluk hidup bernama manusia yang mesti memilih air yang layak dan tidak layak untuk diminum demi mempertahankan kehidupan. Bila salah memilih air, kita dapat mengalami diare, muntah-muntah, bahkan mati keracunan.

Terlalu banyak minum air putih, sekalipun itu air yang dianggap sehat dan bersih tetaplah tidak baik. Kehausan yang berlebihan menandakan ada yang salah dengan tubuh kita. Sebaliknya kekurangan air menyebabkan tubuh kita mengalami dehidrasi dan mampu mendatangkan penyakit.

Begitu pula dengan informasi, ambil seperlunya dan sesuaikan dengan "minat dan kebutuhan" kita. Tak ada keharusan kita mesti tahu semua yang orang lain ketahui. Tak ada jaminan kebahagiaan dapat kita raih dengan menuruti tren dan isu yang orang lain perbincangkan. Berjalanlah di jalan kita sendiri. Fokus pada apa-apa yang kita capai dan kejar. Ya, akhirnya, menjadi diri sendiri ialah jalan terbaik yang bisa kita ambil demi menjaga segenap kewarasan.

***

Tulisan ini pertama kali tayang di blog saya dengan judul "Kita Tak Perlu Tahu yang Sedang Orang Lain Ketahui".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun