Mohon tunggu...
Eki Saputra
Eki Saputra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Kita Tidak Perlu Tahu yang Ramai Diperbincangkan?

2 November 2021   18:45 Diperbarui: 2 November 2021   19:14 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi FOMO oleh Pixabay (Pixabay.com/thedigitalartist)

Zaman pun bergeser. Harus saya akui, bahwa media sosial tak lagi cuma menyangkut urusan kita sendiri atau orang di sekitar kita. Masing-masing orang mulai menjadikannya ruang untuk berdiskusi, berbaur, dan berbagi semua yang ingin dibagikan.

Banyak hal yang sulit dilakukan di dunia nyata, kini dapat terwujud berkat dunia maya. Misalnya, Kadang-kadang media sosial jadi tempat bergunjing dan menghujat artis yang terkena skandal, kadang menjadi ajang panggung debat melebihi acara debat politik di dunia nyata. 

Lain waktu berguna menjadi ruang berkerumun menyerang kriminal yang keji, lain waktu lagi mempermasalahkan tetangga sebelah rumah yang jarang menyapu daun mati, dan yang paling tak terbendung, yaitu sebagian pengguna berebut ingin menjadi pusat perhatian dan viral, entah lewat video goyangan erotis, membuat statemen nyeleneh, berita palsu, konten creepy, dsb.

Perubahan amat drastis ini sejalan dengan naiknya pengguna internet di Indonesia. Menurut laporan HootSuite , pengguna internet di Indonesia di awal tahun 2021 sudah mencapai 202,6 juta jiwa, sedangkan total penduduk Indonesia sebesar 274,9 juta jiwa.

Wajar, jika hari ini semua orang memiliki kehidupan sendiri-sendiri di dunia maya. Bumi memang masih bulat dan berukuran sama. Akan tetapi, dunia meluas terbagi dalam lapisan-lapisan tak kasat mata. Tiga lapisan itu, yakni realitas fisik, realitas fiksi, dan dunia maya.

Sekarang, kembali ke bahasan awal, bisakah kita tetap baik-baik saja tanpa mengikuti pola tiga lapis dunia itu?

Realitas fisik ialah dunia apa adanya, yang tampak oleh mata kita sekarang. Sedangkan realitas fiksi --- istilah ini diperkenalkan oleh Yuval Noah Harari --- adalah segala hal yang tak bisa ditangkap oleh indera kita, tetapi kita sepakat bahwa itu benar-benar ada. Negara, nilai tukar uang, kepercayaan, cinta, adalah contoh realitas fiksi.

Lalu bicara tentang dunia maya. Bisakah kita menghindari keberadaan lapisan ini, sementara kita sadar bahwa kehidupan di masa sekarang telah melangkah ke realitas yang baru dan lebih maju? Di masa depan, realitas virtual akan betul-betul mewujud dan mungkin mengambil alih realitas fisik hari ini (sebagaimana misi pendiri Facebook yang baru-baru ini mengganti nama perusahaannya menjadi Meta). Perlukah kita melepaskan semuanya?

Jangan lupa, ibu-ibu kita, bapak-bapak kita, kakek-nenek kita yang belum mengenal teknologi internet, ataupun orang-orang yang tinggal di wilayah terpencil, mereka hidup dan baik-baik saja sekarang. Padahal mereka memiliki dua dunia saja, yaitu realitas fisik dan fiksi.

Tetapi bukan itu poin yang bisa kita tiru --- Hei! Lagi pula, kita tak bisa menolak kemajuan zaman. Menghindari sepenuhnya internet bukanlah solusi masuk akal melawan banjir informasi tak berguna. Kita sejatinya membutuhkan internet bahkan media sosial demi menunjang aktivitas kita sehari-hari.

Jadi apa yang perlu kita lakukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun