Kini kulihat perias sedang mendandani bidadari. Ya, bidadari itu adalah Raina. Raina yang akan selalu menjadi bidadari di hatiku. Aku mencintainya dari awal bertemu hingga detik ini, detik dimana Raina akan menyerahkan jiwa dan badannya pada lelaki yang akan menjadi suaminya.
Hatiku sakit, sangat terluka. Tapi entah mengapa saat melihat Raina aku malah terdiam tak bergerak. Kuamati parasnya yang tidak bahagia. Seharusnya seorang calon pengantin tidak memiliki paras tertekuk seperti itu.
"Raina... " aku menyapanya.
Rupanya wanita itu sedang melamun dan tidak memperhatikan kehadiranku sedari tadi.
"Mas Anwar... "balasnya
Wanita yang kini dihadapanku, Raina Nisa Rahma, memakai kebaya putih yang membuatnya tampak bersinar, malah parasnya sendu.
"Kamu baik-baik saja kan?"
Ya Tuhan, aku ingin sekali memeluknya. Andai saja aku adalah suaminya, tak akan kubiarkan wanita di hadapanku ini menangis sedih walau hanya setetes airmata.
Wanita di hadapanku ini tidak mengangguk, tidak pula menggeleng.
"Raina kamu cantik" pujiku. Sungguh, aku tak pernah bisa berhenti mengaguminya. Wanita yang sederhana dan selalu membuat hatiku jatuh cinta.
Raina menunduk, aku tahu dirinya sedang berduka. Kalau memang Raina yang memutuskan untuk menikah, mengapa dirinya harus bersedih.