Mohon tunggu...
Efron Dwi Poyo
Efron Dwi Poyo Mohon Tunggu... -

Fanatik FC Bayern München. Mia San Mia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Orang Kristen Bercerminlah pada Perang Salib!

3 April 2016   13:25 Diperbarui: 3 April 2016   20:18 3725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebenarnya sikap pemerintah Hindia-Belanda terhadap agama Kristen bermuka dua. Pada satu pihak pemerintah seringkali memersulit atau melarang pekabaran Injil, sedang pada pihak lain, terutama sesudah  1900, pekabaran Injil disokongnya. Oleh karena eratnya hubungan antara pemerintah kolonial dan kegiatan penginjilan, maka pelaksanaan misi mendapat banyak kendala di kalangan umat Islam. Kristen dipandang sebagai agama penjajah Barat yang menindas. Citra orang Barat dalam Perang Salib masih menghantui umat Islam, yang memang diwartakan demikian oleh penyebar agama Islam.

Setelah berakhirnya pemerintahan kolonial ketegangan hubungan umat Islam dan Kristen mencuat lagi. Ini terjadi pada saat pembahasan UUD 1945 dan pada sidang Konstituante hasil Pemilu 1955. Pada  1971 pemeluk agama Kristen melejit menjadi 7,4%, jika dibandingkan  1931 yang hanya 2,8%. Hal ini terjadi karena pemerintah Orde Baru mewajibkan penduduk untuk memeluk salah satu agama yang diakui negara. Banyak orang bekas anggota PKI yang memilih Kristen ketimbang Islam. Sebagian kalangan menduga jumlah itu mencapai dua juta orang. Peristiwa ini mengundang kecurigaan tokoh Islam dengan menuduh pemerintah Orde Baru memberikan keleluasaan bagi penyebaran agama Kristen. Kalangan Islam juga sangat berkeberatan dengan cara-cara misionaris menyebarkan agama Kristen yang dianggap mengintervensi keimanan umat Islam. Cara mereka ialah mendatangi dari rumah ke rumah dan membangun banyak gereja di kawasan Muslim. Bahkan ada yang mendatangi H.M. Rasjidi, menteri agama waktu itu.

Pekabar Injil yang bertugas di Indonesia tidak saja dari Indonesia sendiri, namun juga dari Eropa dan Amerika Serikat. Pekabar Injil asing datang ke Indonesia dalam jumlah besar pada awal pemerintahan Orde Baru, ketika pemerintah menganjurkan para simpatisan PKI memilih agama yang sah dan diakui. Bagian terbesar memang memilih Kristen.

Bantuan dari luar negeri bukan saja dalam bentuk tenaga, tetapi juga dalam bentuk dana yang besar. Banyak dari mereka berasal dari kalangan Evangelikal dan fundamentalis. Mereka sangat agresif dalam melakukan penginjilan, yang bahkan tidak empan papan. Dengan bantuan dana yang besar itu mereka membangun banyak gereja di tempat-tempat strategis. Selain itu mereka melakukan kegiatan sosial kepada masyarakat miskin, yang tujuan utamanya agar orang miskin tersebut berpindah agama. Suasana ini diperparah lagi dengan banyaknya warga keturunan Tionghoa yang masuk Kristen aliran Evangelikal-fundamentalis. Di sinilah konflik keagamaan bercampur dengan konflik etnis. Konflik keagamaan timbul akibat kegiatan misi yang dilakukan secara agresif tanpa memertimbangkan perasaan umat Islam. Tidaklah heran jika terjadi konflik antar umat beragama, maka dampaknya terjadi juga perusakan toko-toko milik keturunan Tionghoa.

Semangat tentara Salib yang berperang demi agama masih banyak mewarnai para pekabar Injil. Bagi mereka kebenaran mutlak hanya ditemukan dalam agama Kristen, sedang agama lainnya sesat.

REFLEKSI

Walaupun Indonesia sudah merdeka 70 tahun, ternyata kerukunan umat Kristen dan Islam masih merupakan cita-cita. Memang di sana-sini sudah dilakukan upaya pembenahan, namun belum menyentuh lapisan terbawah dan yang pasti masih belum dapat menghilangkan trauma Perang Salib.

Sudah lebih daripada satu dekade gencar dilakukan dialog antara warga Kristen dan Islam. Hasilnya cukup menggembirakan, karena pelaku dialog sudah dapat memahami iman yang berbeda. Kendati demikian dialog ini sangat terbatas di lingkungan intelektual (teolog). Yang sering memacetkan atau menghambarkan dialog jika itu digagas oleh pemerintah dengan tata protokolernya dan dengan tujuan politis, yaitu memeralat umat beragama dan menggalang dukungan.

Fenomena Ahok seperti yang saya tulis di awal seharusnya membuat warga Kristen makin membenahi diri agar makin banyak melahirkan pemimpin seperti Ahok yang memiliki kesadaran etis tinggi (Lihat “Menakar Kesadaran Etis Ahok”. Pembenahan diri ini untuk meningkatkan kerukunan warga Kristen dan Islam sehingga warga Kristen tidak patut menuntut terlalu banyak dari warga Islam, karena sudah sepatutnya warga Kristen/gereja menggagas pembenahan dirinya sendiri. Satu di antara yang perlu dibenahi adalah paradigma pelayanan.

Istilah pelayanan atau melayani paling banyak digunakan gereja disamping istilah mengasihi. Orang pada umumnya mengartikan pelayanan adalah pelayanan kepada Tuhan, yang kemudian berkonotasi ibadah, kebaktian, dan doa. Pelayanan yang bersifat rohaniah. Jadi pelayanan/melayani seperti apa? Saya sependapat dengan begawan teologi Emanuel Gerrit Singgih melayani yang benar adalah melayani seperti Yesus melayani.

Banyak sekali contoh di dalam Alkitab tentang pelayanan Yesus. Yang disoroti dalam tulisan ini ialah pelayanan Yesus pada Markus 8:1-10. Perikop tersebut seringkali tenggelam dengan cerita Yesus memberi makan kepada 5.000 orang yang terdapat dalam Matius 14:13-21, Markus 6:30-44, Lukas 9:10-17, dan Yohanes 6:1-13.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun