Mohon tunggu...
Rolin Taneo
Rolin Taneo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemulung Ilmu

Menyukai bidang ilmu filsafat dan teologi (Kristen)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tentang Salib

29 Maret 2024   11:45 Diperbarui: 29 Maret 2024   11:59 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Peristiwa Salib selalu menampilkan adegan kekerasan yang teramat ngeri bagi seorang Anak Manusia. Peristiwa Salib juga menyiratkan kepada kita bahwa pada hakikatnya, kematian-Nya adalah tanda Ia cinta pada kita. Semua yang manusia rasakan sebagai pengalaman eksistensial, juga turut dirasakan Yesus. Seruan, "Allahku, Allahku mengapa Engkau meninggalkan Aku " dan "Aku Haus" membuktikan akan hal ini. Kesepian dan rasa haus itu Yesus rasakan di titik paling nadir dalam hidup-Nya. Dalam situasi ini, layaknya manusia lain, Yesus pasrah secara penuh pada kehendak Bapa. Katanya, "Ya Bapa, ke dalam tanganMu ke serahkan nyawaku". Yesus tiba di batas akhir untuk menyelesaikan tugas perutusan-Nya. Dia patut kita jadikan teladan. 

Peristiwa Salib juga sesungguhnya adalah kenosis yang sempurna. Peristiwa Salib selalu meninggalkan pesan bahwa keutamaan diri bukan harga mati. Tetapi Salib juga bukan soal tawar-menawar untuk membayar hutang darah dan dosa. Peristiwa Salib itu murni anugerah Allah. Diberikan secara cuma-cuma bagi manusia agar manusia dapat mengecap keselamatan yang Allah kerjakan melalui pengorbanan Yesus Kristus. 

Momentum perayaan Jumat Agung adalah upaya manusia merawat ingatan akan cinta Tuhan bagi dunia. Ingatan itu bukan hanya di pikiran saja tetapi juga dalam hati dan rasa. Manusia menangis, hati terkoyak, pikiran menjadi terganggu ketika fragmen tentang penderitaan Kristus yang memuncak di Salib ditampilkan dalam ibadah. Salib dan kematian Kristus punya kekuatan untuk membuat manusia gelisah. 

Ini penting supaya pemaknaan akan Salib tidak hanya sebatas pada selebrasi yang mewujud dalam liturgi serta pemasangan Salib yang kemilau. Salib juga harusnya mampu membawa kita keluar dari kepura-puraan. Tangisan kita dalam momentum Jumat Agung harusnya jadi tangisan penyesalan. Bukan sebaliknya hanya tangisan semu. Selepas ibadah, kita kembali cara hidup yang lama. Peristiwa Salib harusnya bisa membawa kita pada pembaruan hidup. 

Pada akhirnya, jika nanti dalam hidup kita, ada salib-salib kecil yang kita pikul, nikmati itu sebagai bagian dari kita melebur dengan Dia sebagai sahabat. Yang paling berat sudah Ia tanggung, masa yang ringan kita tidak bisa tanggung? Perayaan Jumat Agung hari ini juga ingin memberitahukan kita bahwa Allah kini telah memanggil kita kembali dalam rangkulan-Nya. Kita telah berdamai dengan Dia. Kita kemudian bisa bernyanyi lega, "SalibMu, SalibMu, yang kumuliakan, hingga dalam sorga k'lak ada perhentian". 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun