Meningkatnya kepemilikan IUP, mengindikasikan adanya kemudahan kepengurusan perizinan berusaha di sektor minerba untuk mineral bukan logam oleh instansi terkait. Meskipun untuk pengurusan IUP harus memiliki sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha, sebagaimana diatur dalam UU Minerba.
Diantaranya lokasi dan luas wilayah, persyaratan penyusunan dokumen lingkungan, kewajiban melaksanakan reklamasi dan pasca tambang serta kewajiban melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP).
Selain itu pemegang IUP wajib menyusun dan menyampaikan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahunan kepada Menteri atau Gubernur, sesuai dengan kewenangannya. Hal tersebut tertuang dalam pasal 62 Peraturan Menteri ESDM no 7 tahun 2022.
Padahal sejatinya sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) baik pertambangan rakyat maupun penambangan batuan, masuk dalam perijinan berusaha berbasis resiko tinggi. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tahun 2025 hasil revisi PP nomor 5 tahun 2021.
Sehingga Pemerintah Daerah lewat instansi terkait dalam memproses perizinan berusaha berupa IUP, harus benar-benar memperhatikan potensi resiko yang kemungkinan muncul. Meskipun pelaku usaha sudah memiliki dokumen lingkungan sebagai persyaratan kepemilikan IUP.
Kebijakan penghentian permanen dua IUP yang ada di Desa Kalora Sigi oleh Gubernur, tentu menjadi dilema. Ketika kehadiran IUP justru berdampak 'musibah' bagi masyarakat lingkar tambang yang bermuara pada adanya permintaan penghentian IUP.
Sementara di satu sisi pemilik IUP bisa berkontribusi terhadap pendapatan daerah, membuka lapangan kerja, serta memberdayakan masyarakat sekitar lewat program tanggungjaeab sosial perusahaan (CSR).
Maka ini bisa menjadi pintu masuk untuk mengevaluasi keberadaan IUP baik kategori mineral bukan logam maupun logam. Terutama mineral bukan logam (galian C) yang pemberian IUPnya didelegasikan kepada Gubernur.
Evaluasi dilakukan jika ada indikasi IUP galian C yang berpotensi dilakukan penghentian permanen. Karena menimbulkan dampak lingkungan dan bencana alam. Dimana evaluasi dimaksud berangkat dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh inspektur tambang dan pejabat pengawas pertambangan.
Perlu diingat, bentuk pembinaan maupun  pemberian sanksi administrasi oleh Gubernur sebagaimana dalam Perpres 55 tahun 2022, dilakukan berdasarkan hasil pengawasan dari inspektur tambang dan pejabat pengawas pertambangan yang ditugaskan oleh Gubernur.
Ini untuk menghindari celah masalah, dimana kebijakan Gubernur dalam mengeksekusi penghentian permanen, tidak berdasarkan hasil pelaporan pengawasan dari Inspektur tambang dan pejabat pengawas pertambangan. Meski Gubernur telah membentuk tim evaluasi pengawasan yang terdiri dari instansi teknis.