Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta Mati (16 Prahara dan Memanggil Semangat)

31 Januari 2022   06:43 Diperbarui: 31 Januari 2022   13:14 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah pribadi dengan pictsart

23 Dzulqaidah 1410 bersamaan dengan Sabtu, 18 Mei 1990

Kembali terbayang kembali olehku ingatan-ingatan yang mulai melemah dan berserakan sejak bersama Fithar didunia tinggi. Emaklah orang pertama yang bersikeras untuk tidak mengizinkanku pergi karena masih waktu terlarang. Mungkin naluri emak bisa membaca kesulitan yang akan dihadapi oleh anaknya kedepan. Keinginan emak sangat sederhana. Ia ingin aku tetap tinggal dikampung untuk menemaninya sambil terus menunggu anggota keluarganya yang sampai saat ini belum kembali.

Banyak tanda-tanda yang telah diberikan emak agar aku tidak melanggar pantang larang yang telah ditentukan adat. Firasatnya yang aku akan menghadapi kesulitan saat perjalanan mengantar tiga tamu kota tersebut. Seperti yang pernah dikatakannya secara emosional pada suatu ketika sesaat sebelum beliau memberikan izin kepadaku pergi. Tetapi dengan keluguanku aku tidak bisa membaca apapun yang tersirat dari pesan-pesan beliau.

Ada satu hal yang dibisikkan seperti setengah sadar kepadaku saat itu. Pada suatu malam yang gelap diteras rumah kami.

" Pergilah menengok disana. Cari tahu apakah mereka sedang terjebak disana?" Ada isyarat yang diberitahukan kepadaku. Saat itu aku menganggap emak hanya sangat tertekan dengan kerinduannya kepada ayah, kakak dan adikku.

Aku menganggap sepertinya yang ia hanya tertekan saja. Kuanggap saja seperti angin lalu. Dikarenakan aku tidak berfikir jauh, sampai akhirnya aku menginjakkan kaki  kekota dunia tinggi saat ini.

Itulah mengapa emak tidak ingin aku mendekati seorang gadis. Apalagi mencintai Amarilis Dewi, yang justru mengantarkan aku dunia tinggi tanpa aku tahu bisa kembali atau tidak kepangkuan emak dikampung.

Hal tersebutlah yang membuatnya berada diantara dua pilihan saat itu. Emak mengizinkanku pergi agar aku dapat mencari jejak anggota keluargaku yang hilang. Disisi yang lain ia juga harus telah siap kehilangan aku anak satu-satunya yang masih tersisa..

Mungkin emak juga sudah tahu yang Amarilis Dewi adalah anak kandugnya, karena tidak ingin membuka rahasianya ia berpura-pura tidak tahu apapun tentang gadis cantik yang secara lahiriah sangat mirip dengannya. Rasa untuk memeluk anak gadisnya layaknya seorang ibu kepada anak-anaknya ditahannya kuat-kuat. Sepertinya emak ingin mengubur dalam-dalam memori hidup sebelumnya yang telah sangat melukai batinnya.

Pernah suatu ketika emak berdebat dalam suasana panas dengan Seroja. Banyak pembicaraan penting yang tidak dapat aku tangkap karena banyak menggunakan bahasa isyarat yang tidak kufahami. Emak seperti bergumam sendiri karena menahan haru yang tak terperi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun