Bagian 12
"Ahhhh...." Ratih menutup kedua telinganya. Sambil duduk bertekuk lutut di pinggir ranjang perawatan, matanya nanar memandang jendela yang kain penutupnya berkali kali tersibak angin kencang.
Ketika kilat menyambar langit, Ratih benar benar ketakutan. Disertai suara petir yang silih berganti memecah kesunyian, dia berteriak histeris. Diiringi derasnya hujan, teriakan Ratih semakin menyayat dinginnya malam.
*****
Malam itu hujan mengguyur atap rumah sakit jiwa tempat Ratih dirawat. Hujan deras disertai angin kencang itulah menjadi alasan Juna masih bertahan di sana. Menunggu setidaknya sampai hujan reda. Sebab Juna sudah cukup dingin dengan kesendiriannya. Dia tak ingin lebih menggigil lagi ketika sampai di rumah. Â
Sambil menikmati secangkir kopi hitam, Juna duduk di cafetaria rumah sakit yang tak jauh dari ruang perawat jaga. Sesekali diseruputnya kopi panas yang masih menampakkan uapnya. Sedang matanya terus menerus memandang ke luar pintu kaca.
"Pak... Pak Juna, Bu Ratih, Pak. Bu Ratih." Salah seorang perawat jaga berlari ke arah Juna dengan tergesa gesa. Tampak rambutnya yang tak karuan seperti habis di tarik paksa. Sedang bajunya sudah tak serapi sebelumnya.
"Ada apa, Mba?" Kecemasan tergambar dari wajahnya.
"Bu Ratih mengamuk lagi, Pak."
Tanpa mendengarkan penjelasan lebih lanjut, Juna pun langsung berdiri dari tempat duduknya lalu berlari ke arah kamar Ratih. Tak dipedulikannya lagi kopi hitam yang masih setengah di cangkirnya. Sedangkan perawat jaga juga ikut berlari di belakangnya.