Mohon tunggu...
Firman Hardianto
Firman Hardianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa PPG Prajabatan UPS Tegal

Saya menyukai hal-hal yang berkaitan dengan literasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengembalikan Budaya Baca di Kalangan Milenial

19 Maret 2024   09:22 Diperbarui: 19 Maret 2024   09:35 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Pexels dari Pixabay

“Saudara kami, Nurcholish Madjid, telah meninggalkan kenangan indah bagi kami. Ia telah mengajari kami Islam yang penuh kasih kepada seluruh alam. Ia telah menanamkan pada hati kami Islam Qurani yang dengan amal menilai kemuliaan orang, apapun mazhabnya;” (Ahmad Gaus AF, 2010)

Islam melalui Nabi Muhammad SAW telah mewariskan Alquran dan Assunnah sebagai pedoman hidup yang dapat dicerna orang-orang yang berpikir. Dalam penciptaan manusia, Tuhan membekali manusia dengan akal sebagai penentu jalan menuju kebenaran. Pada ciptaan lain, Tuhan menyelipkan ayat-ayat kauniyah yang tentunya dapat dipahami sebagai wujud petunjuk yang direpresentasikan secara implisit.

Dalam perkembangannya, Islam mampu disyiarkan ke berbagai penjuru dunia timur dan barat. Hingga sekitar abad ke-16 ketika Islam mulai melemah, bangsa Barat mulai mengembangkan standar keilmuan (saat itu disebut Renaisans). Berabad-abad berjalan, Islam hanya mampu merangkak perlahan sangat jauh dari masa keemasannya sebelum Renaisans. 

Itulah sebabnya mengapa lebih banyak teori Barat yang dipakai dalam penerapan hidup zaman sekarang daripada penggunaan teori Islam. Meski demikian, Islam tetap mampu terus ada hingga masa ini, bahkan jumlah pemeluknya terus bertambah dengan perkiraan pada 2050 mencapai 2,7 miliar (tirto.id, 2017).

Dilansir globalreligiousfutures (2018) Indonesia menjadi salah satu Negara yang memiliki jumlah penganut Islam terbesar di dunia dengan 209,1 juta jiwa pada 2010. Dalam sejarahnya, tercatat bahwa umat Islam Indonesia pernah mengalami sebuah masa kejumudan. Perkembangan intelektual stagnan tanpa mampu mengikuti arus perubahan zaman dan hanya bercokol pada tradisi lama yang sudah ada.

Pada saat itu, nama Nurcholis Madjid mencuat sebagai bibit pembaru dengan gagasan kontroversialnya. Hal itu menimbulkan berbagai kritik terhadapnya, tapi idealisme beliau tetap kuat hingga gagasannya dapat diterima masyarakat sebagai sebuah warisan intelektual. 

Hingga kini karyanya terus diperbincangkan oleh golongan muda melalui organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bahkan gagasannya, nilai-nilai dasar perjuangan, menjadi pedoman wajib bagi kader HMI.

Pembaruan harus terus diupayakan sebagai warisan intelektual yang akan diwariskan kembali ke generasi selanjutnya. Forum diskusi mulai sepi peminat jika ditinjau melalui kacamata realitas. Adapun jika ada forum diskusi, itu pun tetap menggunakan metode ceramah satu sisi dengan audiens sebagai pendengar saja. 

Sebagian besar audiens memperoleh pengetahuan hanya dari ceramah ke ceramah tanpa membaca landasan literatur yang lengkap sehingga pengetahuannya tidak tuntas. Tentu hal ini menjadi kondisi yang cukup mengkhawatirkan karena di satu sisi pemuda semakin terlena dengan ilusi dunia maya berupa media sosial, gim, dan lainnya. Kebiasaan merupakan pembentuk budaya, dan ini bisa berdampak buruk.

Kebiasaan seperti di atas perlu direduksi dengan menguatkan minat baca karena ketika minat baca menguat, rasa ingin tahu juga meningkat. Wallahu'alam bishshawwab.***

Disclaimer: Artikel "Mengembalikan Budaya Baca di Kalangan Milenial" ini pertama kali terbit di kolom forum Media Indonesia edisi 4 Februari 2020. Ditulis oleh Firman Hardianto.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun