Mohon tunggu...
Eko Adri Wahyudiono
Eko Adri Wahyudiono Mohon Tunggu... ASN Kemendikbud Ristek

Mengajar dan mendidik semua anak bangsa. Hobi : Traveling, tenis, renang, gitar, bersepeda, nonton film, baca semua genre buku, menulis artikel dan novel.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengekspresikan Isi Hati atau Isi Pikiran, Mana yang Lebih Sulit?

2 April 2025   19:22 Diperbarui: 3 April 2025   10:54 2716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Komunikasi verbal dan non verbal dalam dua arah. (Sumber Gambar: .Freepik/tirachardz)

Pernahkah Anda mengamati ada anak kecil yang bercerita secara lisan dan berdiskusi dengan bonekanya yang seolah-olah dia adalah makhluk hidup? 

Lagi, pernah nggak melihat ada seseorang yang berbicara mesra penuh kasih sayang dengan hewan peliharaan seperti kucing, anjing atau hewan lainnya dan bahkan terkadang memberikannya nama hewan tersebut yang sangat indah melebihi nama pemiliknya.

Jangan-jangan, kita sendiri juga melakukannya seperti berbicara pada mobil atau sepeda motor milik kita. Kok bisa? 

Diakui atau tidak, kita mungkin pernah mengancamnya saat ada masalah atau trouble pada kendaraan di jalan dengan kalimat keras, "Bila nggak mau dirawat atau ikut saya, ya sudah! Daripada menyusahkan, besok kamu saya jual!".

Rasanya kalimat-kalimat seperti itu akan mengalir saja dengan lancar dari lisan kita tanpa beban apa pun. Entah mau mengungkapkan atau mengekspresikan emosi apa saja yang ada di dalam isi hati atau isi pikiran kita.

Keanehannya di mana?

Mencermati kasus di atas sebagai contoh, ada anggapan di kalangan masyarakat kebanyakan bahwa mengekspresikan isi hati dan isi pikiran itu adalah klausa yang sama. Bisa dianggap sama mudahnya atau justru sama sulitnya tergantung pada beberapa faktor atau aspek yang memengaruhinya.

Tidak peduli pada faktor perbedaan gender pria atau wanita, usia muda atau tua dan juga strata pendidikan kita.

Mereka tidak memahami bahwa sebenarnya perbedaan dalam mengungkapkan isi hati dan isi pikiran sangatlah besar dalam tingkat kesulitannya. 

Justru, jika mau jujur, sebenarnya mengungkapkan isi hati itu lebih sulit daripada isi pikiran kita sebagai manusia.

Bahkan ada komentar bahwa rasanya lebih mudah berbicara pada boneka, tembok, batu, pohon, hewan atau tanaman daripada dengan individu atau sekelompok manusia lainnya. Hal itu karena interaksi komunikasinya terjadi hanya berjalan dalam satu arah tanpa adanya timbal balik.

Baca juga : Lebaran : Mudik Bukanlah Budaya Milik Negara Indonesia Saja

Dalam berkomunikasi, itu pastilah terjadi dalam dua arah dan saling berganti di dalam percakapan (discourse) karena tujuan komunikasi adalah memberi dan menerima pesan. Bila hanya berjalan satu arah, satu sisi sebagai pembicara dan satu sisi lainnya sebagai pendengar. Itulah yang sering kita sebut dengan konsultasi, presentasi, diseminasi, briefing atau istilah lainnya.

Di saat seseorang mengekspresikan isi hatinya kepada orang lain, pada bagian ini sering terjadi bersifat individual atau sekelompok kecil orang. Banyak faktor kesulitan yang mempengaruhi mengapa seseorang merasa sulit untuk mengekspresikan perasaan atau isi hatinya.

Begini! Sebetulnya ada tiga cara atau bentuk berkomunikasi dalam mengekspresikan perasaan atau isi dan juga isi pikiran kita, yaitu komunikasi melalui kalimat verbal atau lisan, melalui kalimat tulis dan yang terakhir adalah dengan simbol berupa gesture melalui gerakan jemari tangan atau body language, yaitu bahasa tubuh, seperti mengangguk, menggeleng dan lainnya.

Pertama, faktor psikologis seperti adanya emosi berlebihan seperti terlalu sedih, terlalu gembira (euphoria) atau terlalu kurang percaya diri (minder).

Jika kita mau mencermati, di saat ada berita duka yang menimpa sebuah keluarga atau momen pemberangkatan jenazah, tuan rumah atau dalam hal ini pihak keluarga mereka, tidak akan mampu untuk mengekspresikan isi hati mereka kepada para pelayat atau pentakziyah yang hadir sehingga meminta orang lain yang bukan keluarga untuk mewakili mereka dalam menyampaikan ucapan terima kasih atas kedatangannya.

Sebaliknya, bila mana ada orang yang mempunyai hajat pernikahan, pada acara sambutan untuk mengekspresikan isi hati kegembiraannya pada acara itu dan lain sebagainya, pastilah sambutan juga akan dilakukan oleh orang lain yang menjadi wakil dari tuan rumah.

Kedua contoh di atas itu untuk memberikan gambaran bahwa tingkat emosi seseorang itu juga akan memengaruhi kemampuan kelancaran berkomunikasi dan akan mendapat kesulitan pula dalam mengungkapkan isi hati yang dalam hal ini dimungkinkan karena aspek emosi yang terlalu sedih atau justru terlalu gembira.

Tidak usah jauh-jauh, coba Anda ingat-ingat momen Anda saat sedang jatuh cinta dan ingin mengekspresikan isi hati pada orang yang dicintai, berapa lama Anda harus latihan sendiri di kamar untuk berbicara? 

Juga, saat sudah terucapkan pun, pastilah tidak selancar seperti saat sedang berlatih sendiri di kamar, iya, kan? Untungnya Anda tidak ditolak saat itu, karena jika gagal bisa-bisa menjadi trauma asmara setelahnya.

Baca juga : Mewaspadai Aplikasi Malware APK dalam Ucapan Selamat Lebaran dan Pencegahannya

Kedua adalah faktor karakter tertutup yang dimiliki seseorang atau istilahnya sering disebut dengan introvert.

Sebetulnya, mereka yang berkarakter introvert ini tidak mempunyai kesulitan untuk mengekspresikan isi hati dan pikiran, namun mereka tidak mau atau enggan dengan berbagai alasan seperti orang lain tidak boleh tahu isi hati dan pikirannya. Lebih-lebih, mereka tidak mau dan takut menyinggung perasaan orang lain bila bicara dan merasa nyaman bila berkomunikasi diam dengan dirinya sendiri dalam hati maupun pikirannya.

Justru orang lain, keluarga atau sahabatnyalah yang selalu menyebut karakter introvert ini sebagai satu kekurangan dan mempermasalahkannya karena rata-rata mereka selalu tertutup serta selalu memendam sendiri dalam mengelola emosinya.

Padahal, selama kaum introvert ini nyaman dan bahagia meski dalam kesendirian, kita tidak berhak untuk memaksanya untuk mengungkapkan isi hati dan pikirannya kepada orang lain. Terkadang, memaksa mereka untuk mengungkapkan isi hati atau pikiran secara frontal justru bisa menimbulkan masalah baru dalam perkembangan kemampuan berkomunikasi aktif dan pasif berikutnya.

Ketiga adalah mereka penderita disleksia atau lambat pada kemampuan verbal dan itu bersifat fisiologis. Namun, meski lemah dalam kemampuan verbalnya, terkadang mereka juga mampu untuk mengekspresikan isi hatinya melalui tulisan dan bahkan bisa menerbitkan sebuah karya sastra luar biasa.

Jika Anda pernah mendengar nama seorang tokoh wanita, Helen Keller, orang Amerika yang menderita tiga disabilitas sekaligus, yaitu tuli, bisu dan buta, justru mampu menerbitkan banyak buku dan satu-satunya penderita disabilitas yang pertama kali bertemu dengan Presiden Amerika Serikat pada waktu itu.

Semua bukunya yang berkisah tentang penderitaan, harapan, keluhan dan semua isi hati ataupun pikirannya telah dituangkan ke dalam lembar demi lembar bukunya. Dari royalti bukunya, semuanya disumbangkan untuk membantu anak-anak penyandang disabilitas di seluruh dunia melalui Helen Keller Foundation termasuk juga di Indonesia.

Baca juga : SPMB 2025, Bisakah Memilih Sekolah Setelah Tahu Bocoran Aturannya?

Perbedaan berkomunikasi selanjutnya adalah pada tingkat kesulitan dalam mengungkapkan isi pikiran seseorang yang dipengaruhi oleh tingkat inteligensia yang dimilikinya. Inteligensia pada klausa ini adalah tingkat dan jenis kecerdasan yang melekat pada diri seseorang.

Pertama, Faktor Jenis Kecerdasan, sesuai dengan Taksonomi Bloom, kecerdasan manusia dibagi menjadi sembilan (9) jenis seperti kecerdasan mulai dari linguis, logis, matematis, naturalis, musikal, kinestetis, interpersonal, intrapersonal dan spasial.

Dari gambaran di atas, mereka yang memiliki kecerdasan linguis, pastilah sangat mudah dalam mengekspresikan isi hati ataupun pikirannya. Apalagi bila memiliki kecerdasan lainnya seperti matematis, logis atau lainnya pada diri individu.

Kedua, Faktor Tingkat Kecerdasan yang ada di otak sebelah kiri dan kita menyebutnya sebagai Kognitif (Cognitive) mulai dari C-1 sampai dengan C-6, yaitu kemampuan membaca, memahami, melakukan, menganalisa, mengevaluasi dan menciptakan akan membedakan setiap orang akan bagaimana kualitas atau kuantitas mereka dalam mengekspresikan isi pikiran untuk menyampaikan pesan.

Baca juga : Premanisme, Apakah Budaya Kita dan Kebal Hukum?

Jadi apabila pernah melihat anak kecil yang bicara sendiri pada boneka kesayangannya, anak remaja yang memarahi kucingnya, atau seorang ibu bicara pada bunga anggrek di rumahnya, semua itu biarkanlah mereka melakukannya dengan senang hati dan jangan menegurnya karena anggap saja mereka sedang berlatih mengekspresikan isi hatinya.

Kegiatan mereka di atas itu bisa disebut dengan Fase Pseudo Komunikasi (Pseudo Communication Phase), yaitu seolah-olah sedang berkomunikasi dengan orang lain. Membiarkan setiap orang untuk mengekspresikan isi hati dan pikirannya dengan cara apa saja adalah hal yang bijaksana untuk perkembangan psikologis mereka.

Sedangkan bila kita pernah mendengar atau mengetahui ada seorang yang sedang bicara sendiri di sebuah ruangan seperti sedang diwawancarai, atau berlatih melakukan presentasi, juga, janganlah sekali-kali merendahkan atau menertawakannya.

Mereka itu semua sedang berusaha untuk mengekspresikan isi pikirannya yang penuh dengan perhitungan matematis dan logis secara lisan dan tertulis agar pesan yang disampaikan mudah diterima serta dipahami meskipun mereka semua, rata-rata sangat mampu untuk menuangkannya dalam bentuk bahasa tulis dengan berbagai jenis bahasa berbeda.

Fase di atas tersebut disebut dengan Fase Komunikasi Terbimbing (Guided Communication Phase), yaitu kemampuan komunikasi yang terlatih baik. Kedua hal mulai dari fase pseudo dan guided komunikasi, tujuannya jelas, yaitu untuk memberikan keterampilan pada setiap orang agar memiliki kemampuan dalam berkomunikasi secara lisan maupun tertulis sejak dini.

Artikel ditulis untuk Kompasiana.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun