Mohon tunggu...
Dwi Elyono
Dwi Elyono Mohon Tunggu... Dosen - Pencari

Penerjemah bhs Inggris bhs Indonesia/bhs Jawa; peneliti independen dlm kajian penerjemahan, kajian Jawa, dan semantik budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masjid Sewulan, Masjid Tegalsari, Telaga Sarangan: Rosonya tidak Biasa

24 Juli 2017   16:48 Diperbarui: 25 Juli 2017   18:40 971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Kula saking Ngawi, Pak."

"Lha Njenengan tiyang Jawi toh? Ngawinipun pundi?"

"Kwadungan."
"Ooh Kwadungan. Kula nggadah kenalan saking Ngawi, kyai, ingkang mimpin pondok Condro Mowo."

"Ingkang tas mbangun pondok alit ten Alas Ketonggo niko?"
"Lha malah Njenengan pun kenal . . . Rumiyin deweke kanca kula sak perguron ten SH Terate."
". . . Nek kula saking Ngawi, niku istri, nika anak. Lha niki bu Ida saking Jambi, nika putranipun."

"Waah dari Jambi . . . tadi saya kira dari Korea atau dari mana gitu, karena sering juga dari Korea datang ke sini . . . Saya Setyo Wancono. Dulu tinggal di Jakarta. Tapi karena ada panggilan langsung dari Eyang Kyai Besari, saya pindah ke sini menjaga dan merawat Dalem Ageng."

"Saya sudah tahu kalau Njenengan dan rombongan akan berkunjung ke sini hari ini."

Begitu Gus Coni (panggilan pak Setyo Wancono) mengatakan ini, pikiran menerawang ke jalan keluar (jalur pinggir) dari desa kami tadi pagi yang bernama Jalan Puntodewo dan jalan masuk (jalur pinggir juga) dari desa Tegalsari yang juga bernama Jalan Puntodewo!

Betapa sebuah kebetulan! Dari Puntodewo di Ngawi BERTEMU Puntodewo di Ponorogo. Dan dari keinginanku lamaku untuk mengunjungi pesantren Tegalsari BERTEMU kesudahtahuan Gus Coni akan kedatangan kami, padahal kami tidak kenal Gus Coni sebelumnya dan belum pernah berkunjung ke Tegalsari sebelumnya!

Keramahan dan kehangatan bapak dan Ibu Setya Wancono membuat kami betah, ingin ngobrol berlama-lama, tapi waktu memaksa kami untuk pamit, karena harus segera melanjutkan perjalanan ke Telaga Sarangan. Gus dan Nyai Coni melepas kami dengan 'doa selamat' dan 'keceriaan Jawa' nya, seolah-olah Kyai Ageng Besari sendiri yang melepas kami menuju Gunung Lawu, tempat Telaga Sarangan berada.

Kembali kami melewati Puntodewo, keluar desa melintasi Ki Ageng Kutu, menyeberang Bathoro Katong, sampai ke Lembeyan. Kemudian Pupus, Gunung Bancak, Gorang-Gareng, terus ngulon ke arah Lawu.

"Eeh tadi itu kok kebetulan sekali ya, Puntodewo ketemu Puntodewo. Dan kok bisa-bisanya bapak tadi bisa tahu kedatangan kita sebelum kita datang?!?" mbak Ida berteriak heran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun