Mohon tunggu...
Dwi Elyono
Dwi Elyono Mohon Tunggu... Dosen - Pencari

Penerjemah bhs Inggris bhs Indonesia/bhs Jawa; peneliti independen dlm kajian penerjemahan, kajian Jawa, dan semantik budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masjid Sewulan, Masjid Tegalsari, Telaga Sarangan: Rosonya tidak Biasa

24 Juli 2017   16:48 Diperbarui: 25 Juli 2017   18:40 971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Tidak ada ini, Nak, di Jambi kayak gini. Ini asyik kayak gubug di pinggir sawah, tradisional," senang sekali mbak Ida merasakan duduk santai di gubug Ronggowarsito.

Sebelum memasuki pendopo besar, aku pandangi lagi joglo Jawa ini, pondasinya, soko gurunya . . . blandar, dudur, meret bertumpuk dengan ukiran rumit di atas . . . Betapa teliti dan nyeninya seniman yang menata, mengkaitkan, dan mengukir balok-balok jati raksasa ini. Jati-jatinya terlihat tua, tapi masih kokoh, dan rosonya tidak biasa.

Rosonya tidak biasa.

Larut-larutnya kami mengagumi dan merasakan roso pendopo, ujug-ujug ada ibu separoh baya mendatangi dan menyapa ramah, "Nuwun sewu, monggo, saking pundi nggih?"

"Saya dari Jambi, Bu. Ini teman dari Ngawi."

"Wah, monggo, matur nuwun sanget sampun rawuh. Monggo, kula temani ke sareanipun Eyang Kyai Besari, di belakang pendopo."

"Lha Ibu saking pundi?"

"Kula nggih saking mriki mawon. Saya tinggal di sini. Saya asli Jakarta, kalau suami saya asli sini. Monggo, saya temani ke dalem lebet di belakang pendopo."

Kami lewat samping, melintasi gerbang, memasuki halaman dalam. Ada teras dengan tiang-tiang tembok di sebelah kanan. Kami lihat seorang sepuh duduk di pojok teras sementara di depan kami ada pintu besar . . . "Itu suami saya," ibu yang ramah itu memperkenalkan. Bapak sepuh ini terlihat tidak biasa: rosonya beda. Segera saja saya hampiri dan salami beliau. Ranti, mbak Ida, Ichlas, dan Eka Ikut menyalami beliau. Kemudian kami dibimbing ibu masuk ke Dalem Lebet, tempat sarean atau kamar tidur yang dahulu digunakan oleh Kyai Ageng Besari.

Ibu duduk bersila. Hening. Mengatupkan kedua tangan, menjunjungnya ke atas, menundukkan kepala. Ada satu kamar terbuka di sebelah kiri, dan satu di sebelah kanan. Di depan kami ada lantai yang ditinggikan setengah meteran. Di tengah sitinggil ada meja persagi. Sebuah Al-Quran  dan sebuah cepuk kecil di atasnya. Ibu mempersilahkan kami maju ke sitinggil. Kami merunduk ke depan dan bersila. Di seberang meja, kami lihat dipan kayu berkerudung rendra putih, yang dahulu adalah sarean Kyai Ageng. Aku, yang orang sangat biasa ini, berdoa memohon kebaikan buat Kyai Ageng Mohammad Hasan Besari.

"Ini tamu dari mana ya?" tanya bapak sepuh begitu kami kembali ke teras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun