Mohon tunggu...
Dwi Elyono
Dwi Elyono Mohon Tunggu... Dosen - Pencari

Penerjemah bhs Inggris bhs Indonesia/bhs Jawa; peneliti independen dlm kajian penerjemahan, kajian Jawa, dan semantik budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masjid Sewulan, Masjid Tegalsari, Telaga Sarangan: Rosonya tidak Biasa

24 Juli 2017   16:48 Diperbarui: 25 Juli 2017   18:40 971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sore ini jam 4.15 kami melepas di stasiun Madiun mbak Ida dan Ichlas, putranya, sahabat-sahabat kami dari Jambi yang kini tinggal, bekerja di Australia. Ingin sekali mereka tinggal lebih lama di Ngawi . . . kami bergegas ke pagar terujung stasiun. Peluit lokomotif melengking nyaring, kereta merangkak, mbak Ida dan Ichlas melambai, tersamar sinar di ujung senja, menuju Jogja.

. . . . . . . . .

Sopir kami, pak Domi, datang tepat waktu, jam 10 pagi. "Bade ten pundi mawon, Pak?"

"Ten Sarangan, Pak. Tujuan utamanya itu dulu. Yang lain-lain dipikir sambil jalan."

"Itu jalan apa, Mas, di tulisan itu?" tanya mbak Ida.

"Pun ... too ... dee .. woo. Jalan Puntodewo, Mbak."


Mobil carteran bergerak pelan meninggalkan Puntodewo, jalan masuk pinggiran desa kami di Ngawi. Hamparan padi dan tebu berkejaran, awan tipis santai saja di atas bersama birunya langit.

"Pak Domi, rencana hari ini, kita ke Masjid Sewulan dekat pabrik gula Pagotan. Kemudian ke Masjid Tegalsari di Ponorogo. Terakhir ke Sarangan. Kita lewat ringroad saja, ke SMA 3. Terus masuk Winongo, keluar depan INKA. Dari situ masuk kota, agar mbak Ida dan Ichlas tahu pusat kota Madiun, tahu Matahari, Sri Ratu, Samudra . . . Kita lihat nanti situasinya. Kalau waktu kurang, bisa kita sesuaikan. Saget nggih, Pak?"

"Nggih, saget Pak."

"Eih, itu apa, Ran? Tebu ya? Sama padi? Berarti ada banyak pabrik gula ya di sini?" mbak Ida kaget melihat luasnya sawah padi dan tebu. Mungkin di jambi sawahnya tidak seluas di Madiun?

"Iya, Mbak Ida."

SMA 3, kota Madiun, satu jam lewat, pak Domi perlahan memarkirkan mobil di halaman luas depan Masjid Sewulan. Pintu gerbang besar, putih, dengan lengkung bertulis SEWULAN menyambut kami. Di halaman dalam kami temui papan yang menerangkan bahwa Masjid Sewulan adalah situs sejarah yang dilindungi dan berada di bawah Balai Arkeologi Trowulan.

Masjid berasitektur Jawa Mataram yang berukuran sedang namun cantik dan eksotis ini dibangun oleh Kyai Ageng Basyariyah atau Bagus Harun (nama kecilnya), putra bupati Sumoroto, Ponorogo, keturunan dari raja-raja Mataram dan Mojopahit. Awalnya Bagus Harun adalah santri Kyai Ageng Mohammad Besari, pendiri dan pengasuh pondok pesantren Tegalsari, Ponorogo, yang berdiri tahun 1700 an. Saat Bagus Harun nyantri di Tegalsari, Kerajaan Kartosuro (kratonnya di sebelah barat kota Solo) diserang kelompok yang berseberangan dengan sang raja, Sunan Pakubuwono II. Pasukan Sunan kalah. Beliau bersama beberapa punggawa dan prajurit tersisa mencari perlindungan ke pesantren Tegalsari, yang terletak di balik Gunung Lawu, sebelah timur Kartosuro.

Kyai Ageng Besari memberi wejangan dan masukan kepada Sunan dan meminta Bagus Harun, santri kesayangan beliau, membantu pasukan Sunan memadamkan penyerangan di Kartosuro. Menaati dawuh gurunya, Bagus Harun berangkat ke Kartosuro, memimpin pasukan Sunan, dan berhasil menumpas pemberontakan.

Atas jasanya, Bagus Harun diminta Sunan menjadi Senopati atau panglima perang kerajaan, tapi tidak bersedia. Lantas Sunan menawari jabatan bupati, lagi-lagi Bagus Harun menolak. Beliau lebih suka menekuni dunia keagamaan. Akhirnya, untuk menghormati jasa dan pengabdiannya, Sunan menghadiahi Bagus Harun payung dan tombak pusaka. Dua pusaka kraton ini diterima oleh Bagus Harun.

Dalam perjalanan menuju Tegalsari, Bagus Harun melakukan tirakat di dekat sebuah air terjun di lereng Gunung Lawu. Kemudian dia larung pusaka-pusaka tersebut dan meneruskan perjalanan ke Tegalsari.

Beberapa masa sekembalinya di Tegalsari, Bagus Harun mempunyai krenteg mendirikan pondok pesantren. Kyai Ageng Besari mendukung keinginan tersebut tapi memberi satu syarat: Bagus Harun harus menemukan kembali payung pusaka kraton Kartosuro yang beliau larung di Gunung Lawu.

Syarat yang terlihat mustahil tersebut dijalani dengan sepenuh hati oleh Bagus Harun. Beliau mulai tirakat pencarian pusaka dari tempat pelarungannya. Beliau telusuri hutan, sungai, dan jurang, tapi tak kunjung beliau temukan sang pusaka, hingga sampai pada bulan Ramadhan tahun berikutnya.

Sembari bertirakat puasa, Bagus Harun meneruskan tirakat pencarian. Pada sebuah malam menjelang akhir Ramadhan dalam semadinya di tengah hutan lebat, payung yang beliau cari berbulan-bulan menancap di depannya dalam keadaan tinggal kerangka. Maka dibawalah kerangka payung tersebut ke gurunya di Tegalsari.

Terharu melihat kesungguhan Bagus Harun menjalani tirakat, Kyai Besari mengijinkan Bagus Harun memulai pembangunan pesantren, diawali dengan pembangunan sebuah masjid. Masjid yang dibangun Bagus Harun diberi nama 'Sewulan', yang disingkat dari kata 'sewu ulan' atau seribu bulan, untuk menandai keberhasilan Bagus Harun menemukan payung pusaka dalam sebuah malam yang dianggap oleh Kyai Ageng Besari sebagai malam Lailatul Qodar atau malam Seribu Bulan. Desa tempat didirikannya Masjid Sewulan juga diberi nama Sewulan.

Untuk, sekali lagi, menghormati jasa dan pengabdian Bagus Harun, Sunan Pakubuwono II menetapkan wilayah Sewulan sebagai daerah perdikan, yaitu daerah yang memiliki otonomi dan tidak dikenai pajak kerajaan.

Sewulan kini masuk wilayah kabupaten Madiun, terletak di sebelah timur pabrik gula Pagotan, dan di antara kota Madiun dan kebupaten Ponorogo.

"Yaa, Mbak Ida, kami ngajaknya ke tempat-tempat sederhana ya. Beda sama yang di Jogja kemarin. Di sana kan Mbak Ida melihat yang gede-gede, kayak Candi Prambanan, Kraton, Malioboro . . ."

"Waah, malah asyik ini, Mas. Spiritualnya bagus. Ini nih biar Ichlas tahu sejarah-sejarah."

"Setelah ini kita ke Masjid Tegalsari, Ponorogo. Kemudian makan siang di Alun-Alun Magetan. Terakhir, ke Sarangan. Saget nggih, Pak Domi?"

"Nggih, saget." pak Domi yang kalem mengangguk kalem.

Kampus Universitas Darussalam Gontor yang megah kami lintasi. "Eka, tolong dicek di gugel, lokasi Masjid Tegalsari."

"Jalan Ki Ageng Kutu di mana, Pak?"
"Di sini, yang kita lewati ini."

"Sebelum kali, Pak, sebelum jembatan belok kiri."

Benar saja, sebelum jembatan ada penunjuk arah 'Masjid Tegalsari'. Perlahan kami menelusuri gang-gang desa. Setelah dua tiga kelokan kami sampai di sebuah deretan panjang tembok yang memagari halaman luas. "Ini kayak bata kuno, Mas. Dan tebel banget. Satu meter." Ranti dari sepinya. Tembok ini memagari halaman dan Dalem Ageng Kyai Besari. Di sebelah barat Dalem Ageng terlihat sebuah masjid kuno, Masjid Tegalsari, yang sudah lama ingin aku kunjungi tapi baru kesampaian sekarang.

"Wah, kula baru ngerti mesjid niki nggih sakniki niki. Sebelumnya belum pernah, Pak." kata pak Domi, sambil memandang takjub tembok dan gerbang bata merah yang memagari makam Kyai Ageng Besari. Ada lengkung di atas gerbang, terbuat dari tembikar merah, berpola daun dan bunga.

Di teras samping masjid yang teduh, Ichlas asyik ngobrol dengan seorang sepuh. "Pasti dari luar Jawa ya. Ada tujuan apa di sini?" sapa pak tua ramah.

"Eeeh, saayya darri Jammbi. Same Umi. Diajak omm ke sini. Omm darri Ngawi."

"Naah benar kan, dari ngomongnya udah kelihatan kalau bukan dari Jawa."

Nggak kelihatan lagi, pikirku. Lha wong Jawa jelas bukan, dan Jambi pun samar-samar. Lha wong sudah jadi Inggris ngomongnya. Ichlas ini sudah mulai kelas 1 SD tinggal di Canberra, Australia, sampai lulus SMA tahun lalu. Sudah sebulan ini dia bersama uminya berlibur di Indonesia.

"Pak . . . nggriyane mriki nggih, Pak?"
"Lha sampeyan kok saget ngomong Jowo??"
"Lha nggih lha wong kula saking Ngawi kok, hehe . . ."

"Lha kula niki asline saking Bali. Ten mriki niki nggih berkunjung. Kula tamu."

. . . . . . . . .


"Eka, sembahyang dulu yok." Sembari wudhu aku lihat Eka mengenakan sarung, dipinjami pak tua dari Bali! Pasti pikir pak Tua, 'Mau sholat kok pakai celana pendek!'

Di dalam masjid yang sejuk dan menentramkan tiang-tiang jati besar menyambut, menjulang, menopang blandar, dudur, polangan, dan meret tumpuk, yang kait mengkait tanpa paku, membentuk konstruksi yang kokoh, indah, dan elegan, khas Jawa.

"Eka, di Australia tidak ada yang seperti ini. Di Australia tidak ada tempat yang pas diroso, yang sangat menentramkan hati seperti Masjid Tegalsari ini." Seperti biasa Eka merespon diam sambil mengambil gambar tiang dan ukiran masjid yang lebih menarik untuk direspon daripada kata.

Di teras depan kami lihat dua lempeng batu besar. Masyarakat lokal menyebutnya 'watu gilang' (batu prasasti). Diletakkan persis di tengah-tengah tangga. Hampir setiap pengunjung yang lewat depan menginjakkan kaki di dua batu ini. Ke timur, pandangan tertuju ke Dalem Ageng, kompleks rumah joglo kuno bekas kediaman Kyai Ageng Besari dan sekaligus pesantren Tegalsari.

Ada kewibawaan, ketentraman, di Dalem Agung. Melewati gerbang, di sebelah kiri, ada gubug panggung beratap limas, yang oleh Ronggowarsito, seorang pujangga besar Jawa, digunakan sebagai salah satu tempat menyimpan buku-bukunya. Beliau juga terkadang sembahyang di gubug ini.

Tidak hanya tokoh besar sekelas Ronggowarsito yang pernah nyantri di kraton Kyai Ageng Besari ini. Sunan Pakubuwono II juga nyantri di tempat ini, sewaktu belum menjadi raja tentunya. Itulah sebabnya sewaktu menghadapi pemberontakan, beliau meminta perlindungan dan wejangan ke Kyai Besari. HOS Cokroaminoto juga pernah nyantri di sini.

"Tidak ada ini, Nak, di Jambi kayak gini. Ini asyik kayak gubug di pinggir sawah, tradisional," senang sekali mbak Ida merasakan duduk santai di gubug Ronggowarsito.

Sebelum memasuki pendopo besar, aku pandangi lagi joglo Jawa ini, pondasinya, soko gurunya . . . blandar, dudur, meret bertumpuk dengan ukiran rumit di atas . . . Betapa teliti dan nyeninya seniman yang menata, mengkaitkan, dan mengukir balok-balok jati raksasa ini. Jati-jatinya terlihat tua, tapi masih kokoh, dan rosonya tidak biasa.

Rosonya tidak biasa.

Larut-larutnya kami mengagumi dan merasakan roso pendopo, ujug-ujug ada ibu separoh baya mendatangi dan menyapa ramah, "Nuwun sewu, monggo, saking pundi nggih?"

"Saya dari Jambi, Bu. Ini teman dari Ngawi."

"Wah, monggo, matur nuwun sanget sampun rawuh. Monggo, kula temani ke sareanipun Eyang Kyai Besari, di belakang pendopo."

"Lha Ibu saking pundi?"

"Kula nggih saking mriki mawon. Saya tinggal di sini. Saya asli Jakarta, kalau suami saya asli sini. Monggo, saya temani ke dalem lebet di belakang pendopo."

Kami lewat samping, melintasi gerbang, memasuki halaman dalam. Ada teras dengan tiang-tiang tembok di sebelah kanan. Kami lihat seorang sepuh duduk di pojok teras sementara di depan kami ada pintu besar . . . "Itu suami saya," ibu yang ramah itu memperkenalkan. Bapak sepuh ini terlihat tidak biasa: rosonya beda. Segera saja saya hampiri dan salami beliau. Ranti, mbak Ida, Ichlas, dan Eka Ikut menyalami beliau. Kemudian kami dibimbing ibu masuk ke Dalem Lebet, tempat sarean atau kamar tidur yang dahulu digunakan oleh Kyai Ageng Besari.

Ibu duduk bersila. Hening. Mengatupkan kedua tangan, menjunjungnya ke atas, menundukkan kepala. Ada satu kamar terbuka di sebelah kiri, dan satu di sebelah kanan. Di depan kami ada lantai yang ditinggikan setengah meteran. Di tengah sitinggil ada meja persagi. Sebuah Al-Quran  dan sebuah cepuk kecil di atasnya. Ibu mempersilahkan kami maju ke sitinggil. Kami merunduk ke depan dan bersila. Di seberang meja, kami lihat dipan kayu berkerudung rendra putih, yang dahulu adalah sarean Kyai Ageng. Aku, yang orang sangat biasa ini, berdoa memohon kebaikan buat Kyai Ageng Mohammad Hasan Besari.

"Ini tamu dari mana ya?" tanya bapak sepuh begitu kami kembali ke teras.

"Kula saking Ngawi, Pak."

"Lha Njenengan tiyang Jawi toh? Ngawinipun pundi?"

"Kwadungan."
"Ooh Kwadungan. Kula nggadah kenalan saking Ngawi, kyai, ingkang mimpin pondok Condro Mowo."

"Ingkang tas mbangun pondok alit ten Alas Ketonggo niko?"
"Lha malah Njenengan pun kenal . . . Rumiyin deweke kanca kula sak perguron ten SH Terate."
". . . Nek kula saking Ngawi, niku istri, nika anak. Lha niki bu Ida saking Jambi, nika putranipun."

"Waah dari Jambi . . . tadi saya kira dari Korea atau dari mana gitu, karena sering juga dari Korea datang ke sini . . . Saya Setyo Wancono. Dulu tinggal di Jakarta. Tapi karena ada panggilan langsung dari Eyang Kyai Besari, saya pindah ke sini menjaga dan merawat Dalem Ageng."

"Saya sudah tahu kalau Njenengan dan rombongan akan berkunjung ke sini hari ini."

Begitu Gus Coni (panggilan pak Setyo Wancono) mengatakan ini, pikiran menerawang ke jalan keluar (jalur pinggir) dari desa kami tadi pagi yang bernama Jalan Puntodewo dan jalan masuk (jalur pinggir juga) dari desa Tegalsari yang juga bernama Jalan Puntodewo!

Betapa sebuah kebetulan! Dari Puntodewo di Ngawi BERTEMU Puntodewo di Ponorogo. Dan dari keinginanku lamaku untuk mengunjungi pesantren Tegalsari BERTEMU kesudahtahuan Gus Coni akan kedatangan kami, padahal kami tidak kenal Gus Coni sebelumnya dan belum pernah berkunjung ke Tegalsari sebelumnya!

Keramahan dan kehangatan bapak dan Ibu Setya Wancono membuat kami betah, ingin ngobrol berlama-lama, tapi waktu memaksa kami untuk pamit, karena harus segera melanjutkan perjalanan ke Telaga Sarangan. Gus dan Nyai Coni melepas kami dengan 'doa selamat' dan 'keceriaan Jawa' nya, seolah-olah Kyai Ageng Besari sendiri yang melepas kami menuju Gunung Lawu, tempat Telaga Sarangan berada.

Kembali kami melewati Puntodewo, keluar desa melintasi Ki Ageng Kutu, menyeberang Bathoro Katong, sampai ke Lembeyan. Kemudian Pupus, Gunung Bancak, Gorang-Gareng, terus ngulon ke arah Lawu.

"Eeh tadi itu kok kebetulan sekali ya, Puntodewo ketemu Puntodewo. Dan kok bisa-bisanya bapak tadi bisa tahu kedatangan kita sebelum kita datang?!?" mbak Ida berteriak heran.

"Iya mbak, memang tidak biasa. Rosonya memang luar biasa."

"Dan hehee . . yang bikin nama jalan itu ya luar biasa rosonya, karena tahu kita akan lewat di kedua jalan itu, maka dinamainya kedua jalan yang sama-sama pinggiran di desa kami di Ngawi dan di desa Tegalsari itu dengan nama yang sama, yaitu Puntodewo."

"Tapi kok bisa tahu?"

"Karena roso nya memang tidak biasa, hehe hee . . ."

"Hei, Ran, itu apa kok, apa air itu? Kok banyak kali?? Di atas gunung ada air sebanyak ini?!? Masya Allah . . . Ini, Nak, luar biasa kali ada laut di atas gunung! Kok bisa ya Mas??"

"Karena Sarangan dan Gunung Lawu . . . luar biasa, Mbak."

Roso nya tidak biasa.

Ngawi, Jawa, Indonesia -- kenangan indah bersama mbak Ida dan Ichlas, 21-23 Juli 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun