"Yaa, Mbak Ida, kami ngajaknya ke tempat-tempat sederhana ya. Beda sama yang di Jogja kemarin. Di sana kan Mbak Ida melihat yang gede-gede, kayak Candi Prambanan, Kraton, Malioboro . . ."
"Waah, malah asyik ini, Mas. Spiritualnya bagus. Ini nih biar Ichlas tahu sejarah-sejarah."
"Setelah ini kita ke Masjid Tegalsari, Ponorogo. Kemudian makan siang di Alun-Alun Magetan. Terakhir, ke Sarangan. Saget nggih, Pak Domi?"
"Nggih, saget." pak Domi yang kalem mengangguk kalem.
Kampus Universitas Darussalam Gontor yang megah kami lintasi. "Eka, tolong dicek di gugel, lokasi Masjid Tegalsari."
"Jalan Ki Ageng Kutu di mana, Pak?"
"Di sini, yang kita lewati ini."
"Sebelum kali, Pak, sebelum jembatan belok kiri."
Benar saja, sebelum jembatan ada penunjuk arah 'Masjid Tegalsari'. Perlahan kami menelusuri gang-gang desa. Setelah dua tiga kelokan kami sampai di sebuah deretan panjang tembok yang memagari halaman luas. "Ini kayak bata kuno, Mas. Dan tebel banget. Satu meter." Ranti dari sepinya. Tembok ini memagari halaman dan Dalem Ageng Kyai Besari. Di sebelah barat Dalem Ageng terlihat sebuah masjid kuno, Masjid Tegalsari, yang sudah lama ingin aku kunjungi tapi baru kesampaian sekarang.
"Wah, kula baru ngerti mesjid niki nggih sakniki niki. Sebelumnya belum pernah, Pak." kata pak Domi, sambil memandang takjub tembok dan gerbang bata merah yang memagari makam Kyai Ageng Besari. Ada lengkung di atas gerbang, terbuat dari tembikar merah, berpola daun dan bunga.
Di teras samping masjid yang teduh, Ichlas asyik ngobrol dengan seorang sepuh. "Pasti dari luar Jawa ya. Ada tujuan apa di sini?" sapa pak tua ramah.
"Eeeh, saayya darri Jammbi. Same Umi. Diajak omm ke sini. Omm darri Ngawi."