"Naah benar kan, dari ngomongnya udah kelihatan kalau bukan dari Jawa."
Nggak kelihatan lagi, pikirku. Lha wong Jawa jelas bukan, dan Jambi pun samar-samar. Lha wong sudah jadi Inggris ngomongnya. Ichlas ini sudah mulai kelas 1 SD tinggal di Canberra, Australia, sampai lulus SMA tahun lalu. Sudah sebulan ini dia bersama uminya berlibur di Indonesia.
"Pak . . . nggriyane mriki nggih, Pak?"
"Lha sampeyan kok saget ngomong Jowo??"
"Lha nggih lha wong kula saking Ngawi kok, hehe . . ."
"Lha kula niki asline saking Bali. Ten mriki niki nggih berkunjung. Kula tamu."
. . . . . . . . .
"Eka, sembahyang dulu yok." Sembari wudhu aku lihat Eka mengenakan sarung, dipinjami pak tua dari Bali! Pasti pikir pak Tua, 'Mau sholat kok pakai celana pendek!'
Di dalam masjid yang sejuk dan menentramkan tiang-tiang jati besar menyambut, menjulang, menopang blandar, dudur, polangan, dan meret tumpuk, yang kait mengkait tanpa paku, membentuk konstruksi yang kokoh, indah, dan elegan, khas Jawa.
"Eka, di Australia tidak ada yang seperti ini. Di Australia tidak ada tempat yang pas diroso, yang sangat menentramkan hati seperti Masjid Tegalsari ini." Seperti biasa Eka merespon diam sambil mengambil gambar tiang dan ukiran masjid yang lebih menarik untuk direspon daripada kata.
Di teras depan kami lihat dua lempeng batu besar. Masyarakat lokal menyebutnya 'watu gilang' (batu prasasti). Diletakkan persis di tengah-tengah tangga. Hampir setiap pengunjung yang lewat depan menginjakkan kaki di dua batu ini. Ke timur, pandangan tertuju ke Dalem Ageng, kompleks rumah joglo kuno bekas kediaman Kyai Ageng Besari dan sekaligus pesantren Tegalsari.
Ada kewibawaan, ketentraman, di Dalem Agung. Melewati gerbang, di sebelah kiri, ada gubug panggung beratap limas, yang oleh Ronggowarsito, seorang pujangga besar Jawa, digunakan sebagai salah satu tempat menyimpan buku-bukunya. Beliau juga terkadang sembahyang di gubug ini.
Tidak hanya tokoh besar sekelas Ronggowarsito yang pernah nyantri di kraton Kyai Ageng Besari ini. Sunan Pakubuwono II juga nyantri di tempat ini, sewaktu belum menjadi raja tentunya. Itulah sebabnya sewaktu menghadapi pemberontakan, beliau meminta perlindungan dan wejangan ke Kyai Besari. HOS Cokroaminoto juga pernah nyantri di sini.