Kegagalan mengelola pertentangan dua wacana tersebut menyebabkan pengakuan kekhilafan dan permintaan maaf tidaklah cukup. Jika berhenti pada permintaan maaf maka UI kehilangan legitimasi moral. Universitas dicap ceroboh dan bahkan dapat dituduh menjadi agen hasbara. Hasbara adalah strategi propaganda halus Israel untuk menciptakan citra positif lewat beragam saluran. Media, diplomasi publik dan jalur akademik adalah beberapa di antaranya.
Oleh sebab itu UI harus melangkah lebih jauh. Membangun protokol etik akademik misalnya. Tujuannya agar setiap pembicara akademik harus disaring bukan hanya berdasarkan reputasi ilmiah belaka. Namun juga kesesuaian dengan nilai-nilai Indonesia.
Melakukan langkah proaktif memberi panggung akademisi pendukung Palestina, aktivis anti kolonial atau ilmuwan pembela HAM dapat menjadi pilihan berikutnya.
Menggelar forum ilmiah membahas genosida, kolonialisme dan peran universitas memperjuangkan keadilan global dapat juga dilakukan.
Dengan kegiatan proaktif diharapkan menggeser krisis komunikasi karena kekhilafan menjadi deklarasi ulang komitmen moral bangsa.
Kasus Berkowitz adalah pengingat kita bahwa universitas tidaklah pernah netral. Setiap pilihan tokoh, tema atau forum adalah politik. Di era globalisasi kampus adalah kurusetra narasi. Tempat kolonialisme bisa mengendap masuk via gerbang bergengsi bernama seminar atau kuliah umum.
UI punya pilihan: berhenti pada permintaan maaf dan membiarkan reputasi tercoreng. Atau menjadikan krisis ini sebagai momentum untuk menunjukkan bahwa akademisi Indonesia setia teguh pada kemanusiaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI