Mohon tunggu...
Doddy Salman
Doddy Salman Mohon Tunggu... pembaca yang masih belajar menulis

manusia sederhana yang selalu mencari pencerahan di tengah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Maaf Saja Tidak Cukup, UI

14 September 2025   08:55 Diperbarui: 14 September 2025   08:55 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kehadiran Peter Berkowitz sebagai pembicara orientasi pascasarjana Universitas Indonesia (UI) memicu badai kritik. Di acara tersebut  Berkowitz, yang dikenal luas sebagai ilmuwan pembela kebijakan Israel yang dikategorikan sebagai genosida, tampil sebagai pembicara dengan opening remarks Rektor Universitas Indonesia.

Dalam surat klarifikasi atas acara yang berlangsung 23 Agustus 2025 tersebut UI mengaku khilaf. Kurang melakukan pemeriksaan latar belakang. UI  juga meminta maaf kepada publik.UI menegaskan bahwa sikap institusi tetap konsisten mendukung perjuangan rakyat Palestina. Dalam perspektif komunikasi kritis tindakan klarifikasi ini langkah standar. Mengakui kesalahan, mengecilkan persoalan sebagai masalah teknis dan meminta maaf untuk meredakan kemarahan publik.

Namun di mata publik permintaan maaf terasa terlalu ringan. Masalahnya memang bukan sekedar teknis administratif. Melainkan menyentuh inti moral dan ideologi bangsa Indonesia.

Dalam teori komunikasi krisis organisasi yang dihantam tekanan publik biasanya memilih empat strategi: menyangkal (deny), mengecilkan (diminish), membangun kembali (rebuild) atau menguatkan citra positif (bolstering). UI memilih membangun kembali dan menguatkan citra positif. Persoalannya krisis ini bukan sekedar reputasi organisasi.

Undangan kepada Berkowitz jelas menyentuh langsung  UUD 1945 dan Pancasila. Pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa bangsa Indonesia menolak segala bentuk penjajahan.Sila kedua Pancasila secara  eksplisit menyatakan "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" menjadi pondasi moral bangsa ini. Sejarah juga mencatat sejak berdirinya bangsa ini konsisten mendukung kemerdekaan Palestina.

Dengan latar ini menghadirkan sosok yang secara terbuka membela Israel tentu alih-alih dikategorikan sebagai kesalahan teknis melainkan seharusnya sebagai kegagalan moral. Jika UI hanya merespon dengan permintaan maaf maka almamater jaket kuning itu seperti tidak memahami kedalaman persoalan.

Universitas seharusnya menyadari bahwa posisinya bukan sekedar lembaga pendidikan. Melainkan produsen makna dan legitimasi. Mengundang seorang tokoh artinya memberi panggung simbolik sekaligus sertifikasi intelektual.

Berkowitz dalam hal ini bukanlah sekedar guru besar filsafat politik. Ia representasi ideologi: Trumpisme, Zionisme dan pembelaan kebijakan negara Israel. Kehadirannya di panggung UI tentu bukanlah sekedar kuliah umum. Melainkan simbol normalisasi kolonialisme melalui jalur akademik.

Di sisi lain UI adalah simbol nasional. Sebagai universitas negeri tertua dan terbesar ia menjadi representasi intelektual bangsa. Apa jadinya jika kehadiran Berkowitz dibaca publik sebagai "sikap Indonesia" dan bukan sekedar "agenda kampus"? Protes publik terhadap acara tersebut bukan soal sosok Berkowitz semata. Melainkan bagaimana kolonialisme diberi karpet merah di jantung akademi nasional.

Di sinilah krisis UI melampaui level institusi karena terjadi benturan dua wacana. UI ingin tampil kosmopolitan. Menghadirkan tokoh-tokoh akademik internasional agar sejajar dengan universitas top dunia. Ini disebut wacana akademik global. Di sisi lain UI konsisten mendukung kemerdekaan Palestina. UI menolak kolonialisme yang berakar pada nilai Pancasila. Inilah wacana nasional konstitusional.

Krisis ini lahir karena UI gagal mengelola pertentangan dua wacana tersebut. Ambisi global tidak disaring dengan komitmen nasional.

Kegagalan mengelola pertentangan dua wacana tersebut menyebabkan pengakuan kekhilafan dan permintaan maaf tidaklah cukup. Jika berhenti pada permintaan maaf maka UI kehilangan legitimasi moral. Universitas dicap ceroboh dan bahkan dapat dituduh menjadi agen hasbara. Hasbara adalah strategi propaganda halus Israel untuk menciptakan citra positif lewat beragam saluran. Media, diplomasi publik dan jalur akademik adalah beberapa di antaranya.

Oleh sebab itu UI harus melangkah lebih jauh. Membangun protokol etik akademik misalnya. Tujuannya agar setiap pembicara akademik harus disaring bukan hanya berdasarkan reputasi ilmiah belaka. Namun juga kesesuaian dengan nilai-nilai Indonesia.

Melakukan langkah proaktif memberi panggung akademisi pendukung Palestina, aktivis anti kolonial atau ilmuwan pembela HAM dapat menjadi pilihan berikutnya.

Menggelar forum ilmiah membahas genosida, kolonialisme dan peran universitas memperjuangkan keadilan global dapat juga dilakukan.

Dengan kegiatan proaktif diharapkan menggeser krisis komunikasi karena kekhilafan menjadi deklarasi ulang komitmen moral bangsa.

Kasus Berkowitz adalah pengingat kita bahwa universitas tidaklah pernah netral. Setiap pilihan tokoh, tema atau forum adalah politik. Di era globalisasi kampus adalah kurusetra narasi. Tempat kolonialisme bisa mengendap masuk via gerbang bergengsi bernama seminar atau kuliah umum.

UI punya pilihan: berhenti pada permintaan maaf dan membiarkan reputasi tercoreng. Atau menjadikan krisis ini sebagai momentum untuk menunjukkan bahwa akademisi Indonesia setia teguh pada kemanusiaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun