Sebuah acara sidang pleno tahunan MK digelar. Tamu yang hadir istimewa. Presiden Joko Widodo. Hadir pula ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani. Sepertinya sangat jarang presiden menyambangi langsung MK.
Di hadapan presiden dan ketua DPR Ketua MK Anawar Usman menyampaikan laporan tahunan 2019. Tempo.co menulis Anwar curhat tentang anggaran lembaga yang dipimpinnya dipotong hingga separuh dari jumlah sebelumnya. Â
Tahun 2020 ini, MK hanya mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp 246.215.842.000 (dua ratus empat puluh enam miliar dua ratus lima belas juta delapan ratus empat puluh dua ribu rupiah). Jauh lebih sedikit, bahkan tidak sampai separuh, dibandingkan alokasi anggaran tahun 2019, yakni sebesar Rp 539.645.401.000.
Situs presidenri.go.id memuat pidato presiden di acara ini. Dalam pidatonya presiden meminta dukungan semua pihak  terhadap omnibus law perpajakan dan omnibus law cipta kerja.
Menurut presiden kedua omnibus law tersebut adalah bagian dari upaya pemerintah dan dpr mensinkronkan berbagai undang-undang melalui satu undang-undang saja. Puluhan undang-undang akan dipangkas, disederhanakan dan diselaraskan.
Masih di tahun 2020 di awal September DPR  mensahkan  Revisi Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pengesahan ini mendapat banyak kritikan karena dikhawatirkan menjadi alat barter politik pemerintah dan DPR.
Kita menangkap atau kita khawatir ada dugaan barter politik di dalam revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi saat ini," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam konferensi pers, Jumat (28/8/2020).Â
Kurnia menjelaskan, barter politik dapat terjadi karena RUU MK dinilai menguntungkan hakim konstitusi karena RUU MK tidak lagi mengatur batas masa jabatan bagi hakim konstitusi (Kompas.com )
RUU MK juga mengubah batas usia minimum hakim konstitusi dari 47 tahun menjadi 60 tahun di mana sejumlah hakim konstitusi telah berusia di atas 60 tahun
"Pemerintah dan DPR sudah pasti menginginkan proses judicial review terkait dengan UU KPK atau nanti soal Cipta Kerja jika disahkan oleh DPR," ujar Kurnia. "Mereka pasti menginginkan hal itu ditolak oleh MK. Di situ kita melihat atau kita khawatir barang ini atau RUU MK ini dijadikan barter politik," lanjut dia.