Nama: Diva Heryanto
NIM: 221010200700
Program Studi: Ilmu Hukum S1
Universitas Pamulang
Doxxing merupakan tindakan mengungkapkan informasi pribadi seseorang ke publik tanpa izin, biasanya dengan tujuan merugikan atau mengintimidasi korban. Fenomena ini semakin marak terjadi di Indonesia, terutama di era digital dan media sosial yang semakin berkembang. Namun, apakah doxxing bisa dipidana di Indonesia?
Dalam era digital yang semakin berkembang, informasi pribadi seseorang menjadi semakin rentan terhadap penyalahgunaan. Salah satu bentuk penyalahgunaan yang kerap terjadi adalah doxxing, yaitu tindakan menyebarkan informasi pribadi seseorang tanpa izin dengan tujuan tertentu, seperti intimidasi, penghinaan, atau bahkan ancaman. Perkembangan teknologi dan maraknya penggunaan media sosial telah membuat doxxing menjadi fenomena yang sering terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Doxxing bukan sekadar perbuatan yang mengganggu privasi seseorang, tetapi juga bisa berdampak serius terhadap kehidupan korban. Banyak kasus menunjukkan bahwa tindakan ini dapat menyebabkan tekanan psikologis, perundungan daring, ancaman fisik, hingga kehilangan pekerjaan. Informasi pribadi yang disebarluaskan tanpa persetujuan pemiliknya bisa digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan kriminal lainnya, seperti penipuan, pemerasan, atau bahkan kejahatan berbasis kebencian. Di Indonesia, doxxing masih menjadi perdebatan dari sisi hukum karena belum ada regulasi yang secara khusus menyebutkan istilah tersebut. Namun, berbagai peraturan yang ada, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), dapat digunakan untuk menjerat pelaku. Selain itu, beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga dapat digunakan untuk memberikan sanksi kepada mereka yang dengan sengaja menyebarkan informasi pribadi orang lain tanpa izin dan menyebabkan kerugian bagi korban. Masyarakat sering kali tidak menyadari bahwa tindakan membagikan informasi pribadi orang lain tanpa persetujuan dapat berdampak hukum. Tidak jarang pula doxxing dilakukan sebagai bentuk balas dendam atau tekanan sosial tanpa mempertimbangkan konsekuensi yang dapat ditimbulkan. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana hukum di Indonesia mengatur perlindungan terhadap privasi dan data pribadi, serta apakah doxxing dapat dikenakan sanksi pidana.
Baca Juga: Harta Gono-Gini Siapa yang Berhak Menuntut Hukum?
Apa itu Doxxing?
Doxxing adalah tindakan mengungkapkan dan menyebarluaskan informasi pribadi seseorang ke publik tanpa izin dengan berbagai tujuan, mulai dari intimidasi, perundungan siber (cyberbullying), hingga tindakan kriminal lainnya. Kata "doxxing" berasal dari istilah "dropping docs" atau "documents," yang mengacu pada praktik mengungkapkan dokumen atau data pribadi seseorang di internet. Secara umum, informasi yang disebarluaskan dalam doxxing dapat mencakup berbagai hal, seperti nama lengkap, alamat rumah, nomor telepon, alamat email, akun media sosial, informasi pekerjaan, nomor identitas, riwayat pendidikan, hingga informasi keuangan dan keluarga. Dalam beberapa kasus ekstrem, pelaku doxxing bahkan bisa menyebarkan foto pribadi, rekaman suara, atau bahkan informasi medis korban. Doxxing sering kali digunakan sebagai alat untuk menyerang seseorang secara daring, terutama dalam perselisihan di internet, konflik politik, atau bahkan perseteruan pribadi. Banyak pelaku doxxing melakukannya dengan tujuan mempermalukan, mengintimidasi, atau membalas dendam terhadap korban. Dalam beberapa kasus, doxxing juga dapat digunakan untuk mengoordinasikan serangan lebih lanjut, seperti pelecehan daring, ancaman kekerasan, atau bahkan kekerasan fisik secara langsung.
Ada berbagai metode yang digunakan oleh pelaku doxxing untuk mendapatkan informasi pribadi korban. Salah satu metode paling umum adalah open-source intelligence (OSINT), yaitu teknik pengumpulan data menggunakan informasi yang tersedia secara publik, seperti media sosial, forum, atau basis data yang dapat diakses oleh siapa saja. Misalnya, seseorang yang membagikan terlalu banyak informasi pribadi di media sosial dapat dengan mudah menjadi sasaran doxxing, karena pelaku dapat menyusun profil korban hanya dengan mengumpulkan informasi dari berbagai platform daring. Selain itu, metode lainnya meliputi peretasan (hacking), phishing, dan social engineering. Dalam kasus peretasan, pelaku dapat membobol akun media sosial, email, atau layanan daring lainnya untuk memperoleh data pribadi korban. Sementara itu, phishing melibatkan taktik manipulatif, seperti mengirim email atau pesan palsu yang tampak sah untuk menipu korban agar memberikan informasi pribadi mereka. Social engineering, di sisi lain, merupakan teknik manipulasi psikologis di mana pelaku berpura-pura menjadi pihak yang terpercaya untuk mendapatkan informasi dari korban secara langsung. Doxxing memiliki dampak yang sangat serius terhadap korban. Selain gangguan psikologis seperti stres, kecemasan, dan ketakutan, korban doxxing juga dapat mengalami kerugian dalam kehidupan nyata, seperti kehilangan pekerjaan, pengusiran dari lingkungan tempat tinggal, atau bahkan ancaman fisik. Dalam beberapa kasus ekstrem, korban doxxing mengalami swatting, yaitu tindakan melaporkan informasi palsu ke pihak berwenang agar polisi menggerebek rumah korban dengan tuduhan yang tidak benar.
Doxxing dalam Perspektif Hukum Indonesia
Di Indonesia, istilah "doxxing" tidak disebutkan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan. Namun, tindakan ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum berdasarkan beberapa regulasi yang melindungi privasi dan data pribadi seseorang. Beberapa undang-undang yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku doxxing di Indonesia antara lain Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), serta beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
1. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
UU ITE merupakan salah satu regulasi utama yang digunakan untuk menangani kejahatan di dunia maya, termasuk tindakan doxxing. Beberapa pasal yang dapat dikenakan terhadap pelaku doxxing antara lain:
- Pasal 26 ayat (1) UU ITE: Mengatur bahwa penggunaan data pribadi seseorang dalam sistem elektronik harus mendapat persetujuan dari pemilik data. Penyebaran informasi pribadi tanpa izin dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak privasi.
- Pasal 27 ayat (3) UU ITE: Mengatur tentang penghinaan atau pencemaran nama baik yang sering kali terjadi dalam kasus doxxing. Jika informasi yang disebarkan bertujuan untuk merendahkan martabat seseorang, pelaku dapat dikenakan sanksi hukum.
- Pasal 29 UU ITE: Mengatur tentang pengancaman melalui informasi elektronik. Jika doxxing digunakan untuk mengancam korban, pelaku dapat dijerat dengan pidana.
Sanksi bagi pelaku doxxing berdasarkan UU ITE bervariasi tergantung pada pasal yang dilanggar. Hukuman maksimal dapat mencapai 4 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp750 juta.
2. Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP)
UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi memberikan perlindungan hukum lebih spesifik terkait pengelolaan dan penyebaran data pribadi. Dalam undang-undang ini, data pribadi didefinisikan sebagai informasi yang dapat mengidentifikasi seseorang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyebaran data pribadi tanpa izin dapat dikenakan sanksi pidana.
Beberapa ketentuan dalam UU PDP yang relevan dengan doxxing antara lain:
- Pasal 65 UU PDP: Pelanggaran terhadap perlindungan data pribadi dapat dikenakan pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp50 miliar.
- Pasal 67 UU PDP: Mengatur sanksi tambahan bagi pelaku yang menggunakan data pribadi seseorang untuk kepentingan yang merugikan.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Selain UU ITE dan UU PDP, beberapa pasal dalam KUHP juga dapat diterapkan dalam kasus doxxing, terutama jika tindakan tersebut menyebabkan pencemaran nama baik, ancaman, atau perbuatan tidak menyenangkan:
- Pasal 310 KUHP: Mengatur tentang pencemaran nama baik, yang dapat diterapkan jika doxxing bertujuan merusak reputasi seseorang.
- Pasal 335 KUHP: Mengatur tentang perbuatan tidak menyenangkan, yang dapat dikenakan jika doxxing menyebabkan korban mengalami ketakutan atau tekanan psikologis.
Baca Juga: Korupsi di Indonesia: Penyakit Kronis yang Sulit di Berantas?
Sanksi Pidana bagi Pelaku Doxxing di Indonesia
Meskipun istilah "doxxing" tidak secara eksplisit disebutkan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, pelaku penyebaran informasi pribadi tanpa izin dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan beberapa regulasi yang berlaku, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), serta beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berikut adalah beberapa sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku doxxing:
1. Sanksi Berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
UU ITE mengatur berbagai bentuk kejahatan siber, termasuk penyebaran informasi pribadi secara ilegal. Beberapa pasal yang dapat menjerat pelaku doxxing antara lain:
- Pasal 26 ayat (1) UU ITE: Mengatur bahwa penggunaan data pribadi dalam sistem elektronik harus mendapat persetujuan dari pemilik data. Jika dilanggar, korban dapat mengajukan gugatan perdata untuk meminta ganti rugi atas penyebaran informasi pribadi.
- Pasal 27 ayat (3) UU ITE: Mengatur tentang penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media elektronik. Jika doxxing menyebabkan korban merasa dihina atau dirugikan secara reputasi, pelaku dapat dipidana dengan hukuman penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda hingga Rp750 juta.
- Pasal 29 UU ITE: Mengatur tentang ancaman melalui sistem elektronik. Jika informasi pribadi yang disebarluaskan digunakan untuk mengancam korban, pelaku dapat dijerat dengan hukuman pidana maksimal 4 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp750 juta.
2. Sanksi Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP)
UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi memberikan dasar hukum yang lebih kuat dalam mengatur pengelolaan dan perlindungan data pribadi seseorang. Dalam konteks doxxing, pelaku dapat dijerat dengan pasal-pasal berikut:
- Pasal 65 UU PDP: Pelaku yang dengan sengaja mengungkapkan data pribadi seseorang tanpa izin dapat dikenakan hukuman pidana maksimal 5 tahun penjara dan denda hingga Rp50 miliar.
- Pasal 67 UU PDP: Jika data pribadi digunakan untuk tujuan yang merugikan korban, seperti ancaman atau pemerasan, pelaku dapat dikenakan sanksi tambahan, termasuk peningkatan hukuman pidana dan denda.
3. Sanksi Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Selain UU ITE dan UU PDP, beberapa pasal dalam KUHP juga dapat digunakan untuk menjerat pelaku doxxing, terutama jika tindakan tersebut menimbulkan dampak negatif bagi korban. Beberapa pasal yang relevan meliputi:
- Pasal 310 KUHP: Mengatur tentang pencemaran nama baik. Jika informasi yang disebarkan melalui doxxing bersifat merugikan reputasi korban, pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 9 bulan atau denda.
- Pasal 335 KUHP: Mengatur tentang perbuatan tidak menyenangkan yang dapat dikenakan jika doxxing menyebabkan korban mengalami ketakutan atau tekanan psikologis. Pelaku dapat dihukum dengan pidana penjara maksimal 1 tahun atau denda.
Studi Kasus
Salah satu contoh nyata kasus doxxing di Indonesia terjadi pada September 2020, menimpa seorang jurnalis Liputan6.com bernama Cakrayuri Nuralam. Setelah menerbitkan artikel cek fakta yang memverifikasi klaim mengenai politisi PDI Perjuangan, Arteria Dahlan, pada 10 September 2020, Nuralam menjadi sasaran serangan doxxing secara masif. Artikel tersebut membahas klaim yang menyebut Arteria Dahlan sebagai cucu dari pendiri PKI di Sumatera Barat, Bachtaroeddin.Â
Keesokan harinya, 11 September 2020, serangan doxxing dimulai dengan akun Instagram @d34th.5kull mengunggah foto Nuralam tanpa izin, disertai keterangan bernada ancaman. Serangan serupa kemudian diikuti oleh beberapa akun lain, seperti @cyb3rw0lff__, @cyb3rw0lff99.tm, @j4ck__5on_, dan @bit___chyd___, yang menyebarkan informasi pribadi Nuralam, termasuk alamat rumah dan foto keluarganya. Tindakan ini tidak hanya mengancam Nuralam secara pribadi, tetapi juga keluarganya, menciptakan rasa takut dan tekanan psikologis.Â
Menanggapi insiden ini, Liputan6.com mengecam keras tindakan teror melalui doxxing terhadap jurnalisnya dan berencana menempuh jalur hukum untuk melindungi hak serta keselamatan karyawannya. Pemimpin Redaksi Liputan6.com, Irna Gustiawati, menegaskan bahwa kerja jurnalistik dilindungi oleh Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999, dan segala bentuk keberatan terhadap pemberitaan seharusnya disalurkan melalui mekanisme yang telah diatur, seperti hak jawab atau pengaduan ke Dewan Pers, bukan melalui intimidasi atau kekerasan.Â
Kasus ini menyoroti ancaman serius yang dihadapi jurnalis di Indonesia terkait privasi dan keselamatan mereka dalam menjalankan tugas jurnalistik. Selain itu, insiden ini juga menggarisbawahi pentingnya penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku doxxing untuk melindungi kebebasan pers dan hak asasi individu.
Jadi, apakah Doxxing bisa di pidana?
Doxxing merupakan tindakan yang dapat menimbulkan dampak serius bagi korban, mulai dari gangguan privasi, tekanan psikologis, hingga ancaman fisik. Di era digital yang semakin berkembang, penyebaran informasi pribadi tanpa izin menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian lebih, terutama karena dapat digunakan untuk berbagai tujuan negatif seperti intimidasi, perundungan daring, dan bahkan tindak kriminal lainnya. Meskipun istilah "doxxing" tidak secara eksplisit disebutkan dalam hukum Indonesia, perbuatan ini tetap dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), serta beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat digunakan untuk menjerat pelaku doxxing dengan ancaman pidana yang cukup berat, mulai dari denda hingga hukuman penjara. Untuk mencegah kasus doxxing, diperlukan langkah-langkah perlindungan data pribadi yang lebih baik, baik dari segi regulasi maupun kesadaran masyarakat. Pemerintah perlu terus memperkuat kebijakan terkait keamanan data pribadi, sementara individu harus lebih berhati-hati dalam membagikan informasi pribadi di dunia maya. Selain itu, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa menyebarkan informasi pribadi orang lain tanpa izin bukan hanya tindakan yang tidak etis, tetapi juga dapat berujung pada konsekuensi hukum. Dengan adanya kesadaran hukum dan peningkatan literasi digital, diharapkan kasus doxxing dapat diminimalisir, sehingga setiap individu dapat merasa lebih aman dan terlindungi dalam menggunakan teknologi dan media sosial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI