Sudah beberapa lama aku dan anakku menjadikan jalan kaki sebagai rutinitas harian. Kami pernah begitu tekun mengejar 10.000 langkah setiap hari—kadang dengan semangat kompetitif, kadang hanya karena “katanya bagus buat jantung".
Namun, lama-lama, langkah-langkah itu terasa seperti angka yang harus dipenuhi, bukan irama yang ingin dihayati. Ada lelah yang samar, bukan di otot, melainkan di niat.
Lalu kami menemukan metode jalan ala Jepang: 3 menit jalan cepat, 3 menit jalan biasa, diulang beberapa kali. Metode ini secara ilmiah dikenal sebagai Japanese Interval Walking Training (selanjutnya kusebut IWT).
Awalnya kami pikir takkan banyak beda dari jalan biasa—ternyata justru di situlah perubahannya. Ritmenya sederhana, tetapi efeknya nyata.
Baca juga: Bell
Tubuh tidak terasa dikejar, tetapi diajak bicara.
Nafas teratur, detak jantung terasa hidup, dan ada ruang bagi percakapan kecil di antara langkah-langkah kami.
Anakku, yang baru mulai rutin berolahraga, bilang ia suka karena tidak membuatnya takut gagal. Aku, yang jelang manula, merasa tubuhku diajak bekerja tanpa dipaksa.
Kami menemukan semacam harmoni: antara gerak dan jeda, antara semangat dan kelembutan. Mungkin inilah seni berjalan yang sesungguhnya—bukan tentang cepat, tetapi tentang hadir di setiap langkah.
IWT: Ritme 3 Menit dan Manfaat Ilmiah
Konsepnya sederhana: ritme IWT terdiri dari jalan cepat selama tiga menit, lalu lanjut tiga menit dengan langkah biasa—diulang lima kali hingga total sekitar tiga puluh menit.
Metode ini dikembangkan oleh Prof. Hiroshi Nose dari Shinshu University, Jepang. Jalan cepat harus dilakukan pada intensitas "agak berat" (sekitar 70-85% kapasitas aerobik puncak)—secepat yang kamu bisa sambil tetap bisa bicara dalam kalimat yang patah-patah.
Sekilas terdengar ringan, tetapi penelitian panjang menunjukkan hasil yang mengejutkan.
Dalam waktu lima bulan, para peserta yang menjalankan pola ini, minimal empat kali seminggu, mengalami peningkatan daya tahan jantung-paru hingga 20%, kekuatan otot tungkai bertambah (khususnya kekuatan otot paha hingga 13-17%), dan tekanan darah serta kadar gula lebih stabil.
Semua manfaat ini tercapai tanpa perlu menambah durasi latihan, dan data ini didukung oleh studi jangka panjang dari Shinshu University yang telah diulas luas oleh media massa di Indonesia.
Yang menarik, jalan interval ini tidak membuat tubuh kelelahan seperti lari atau jalan cepat terus-menerus. Ada jeda yang memberi kesempatan bagi sistem tubuh untuk menyesuaikan diri, sehingga proses adaptasi berlangsung lebih alami.
Jeda ini juga memicu Excess Post-Exercise Oxygen Consumption (EPOC), membuat tubuh terus membakar kalori bahkan setelah selesai berjalan.
Bahkan studi IWT juga melaporkan bahwa banyak peserta melaporkan suasana hati yang lebih baik dan tidur yang lebih nyenyak. Seperti yang aku dan anakku rasakan.
Di Jepang, metode ini populer di kalangan lansia maupun pekerja muda yang ingin tetap bugar tanpa harus ke pusat kebugaran.
Filosofinya sederhana, tetapi dalam: tubuh bukan dilatih untuk cepat, melainkan dibimbing agar seimbang.
Langkah Dua Generasi
Menarik sekali melihat bagaimana satu metode sederhana bisa memberi pengalaman yang berbeda bagi dua generasi.
Anakku, yang selama ini sering menunda olahraga karena takut kelelahan, merasa Japanese walking seperti pintu masuk yang ramah. “Tiga menit cepat itu cukup bikin jantung berdetak, tapi masih bisa sambil ngobrol,” katanya sambil tertawa.
Saat mengerahkan tenaga penuh di fase cepat, anakku justru bilang, “Asyik, ini kayak lagi main kejar-kejaran, tapi jeda 3 menitnya beneran bikin lega!” Ia mulai menyadari bahwa kebugaran tidak harus berarti memaksa diri—cukup konsisten dan sadar ritme tubuh.
Aku sendiri justru menemukan kelegaan lain. Setelah melewati berbagai fase usia dan cara berolahraga, metode ini terasa lebih menghargai tubuh yang sedang menua.
Tak ada tekanan untuk terus kuat, justru ada ruang untuk tetap bergerak dengan hormat pada batas. Dalam tiga menit cepat, aku belajar tentang keberanian. Dalam tiga menit lambat, aku belajar tentang penerimaan.
Metode sederhana ini juga tidak butuh alat mahal; hanya sepatu nyaman, timer sederhana, dan konsistensi.
Di antara langkah-langkah kami yang berpadu di trotoar pagi, aku seperti melihat kehidupan dalam skala kecil: bahwa kita tak selalu harus berjalan seirama, tetapi bisa tetap beriringan.
Masing-masing menemukan iramanya, lalu bertemu di tengah—dalam napas yang sama, dalam kesadaran yang pelan-pelan menenangkan.
Berjalan dalam Ritme Hidup
Setelah beberapa minggu menjalani metode ini, aku mulai menyadari: tubuh sebenarnya selalu tahu cara menjaga dirinya, hanya saja kita sering tidak mendengarnya.
Dalam setiap tiga menit cepat, ada semangat untuk maju. Dalam tiga menit lambat, ada kesediaan untuk beristirahat. Keduanya sama pentingnya—karena hidup pun bergerak dengan pola yang mirip: kadang menuntut kita berlari, kadang mengajak kita melambat.
Aku dan anakku mungkin berjalan dengan kecepatan berbeda, tetapi kami belajar hal yang sama: keseimbangan tidak selalu lahir dari kecepatan, melainkan dari kesetiaan pada ritme yang pas bagi diri sendiri.
Ini adalah investasi jangka panjang untuk melindungi tubuh dari penurunan kekuatan yang terkait usia. Dan mungkin, kesehatan bukan soal berapa jauh langkah yang ditempuh, melainkan seberapa sadar kita hadir di setiap langkah itu.
Tubuh, seperti halnya hidup, hanya perlu diberi waktu untuk bekerja dan waktu untuk bernafas.
Kini, setiap kali kami berjalan, rasanya seperti sedang berdialog dengan tubuh dan waktu. Tidak terburu-buru, tidak pula berhenti terlalu lama.
Hanya berjalan—pelan, lalu cepat, lalu pelan lagi—menemukan jeda, napas, dan arti dari perjalanan yang terus berlanjut.
***
Disclaimer:
Artikel ini bersifat edukatif dan berdasarkan pengalaman pribadi penulis serta data studi yang dipublikasikan. Metode Japanese Interval Walking Training (IWT) adalah latihan yang intens.
Jika memiliki riwayat penyakit jantung, tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol, atau masalah persendian, selalu konsultasikan dengan dokter atau profesional kebugaran sebelum memulai rutinitas latihan baru.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI