Pembuka: 'Tubuhku Tak Lagi Sama'
Tubuhku dahulu seperti tak mau diajak kompromi. Mudah lelah, mudah marah, dan mudah sakit. Terkadang aku merasa buntu, bingung harus mulai dari mana saat hendak melakukan sesuatu.
Tubuhku seolah asing bagiku: kupikir mengantuk ternyata tidak, kupikir kenyang, tahu-tahu aku merasa lapar. Rasanya, energi dan fokusku sering hilang tanpa jejak.
Berat badanku sempat menyentuh angka 68. Dengan tinggi hanya 152 cm, itu jelas bukan angka yang nyaman. Lutut dan pergelangan kaki sering kali menjadi alarm—nyeri yang datang tiba-tiba, kadang saat bangun tidur, kadang saat berdiri setelah duduk terlalu lama.
Aku mencoba berbagai cara, termasuk intermittent fasting. Dua bulan—dan berat tubuh turun 10 kilogram. Namun, perlahan beratku naik lagi hingga 65 kg, dan lututku belum juga berdamai. Naik tangga masih harus pelan-pelan, satu per satu anak tangga, sambil mencuri napas di sela-selanya.
Bukan berarti IF tidak bagus, ya, tetapi kurasa tubuhku memang tidak cocok dengan metode itu untuk jangka panjang.
Aku sering berpikir bahwa gaya hidup sehat itu mahal dan menyulitkan. Harga makanan sehat terasa tidak masuk akal, belum lagi rasa dan proses menyiapkannya. Bahkan ketika aku mendengar ada program 14 hari reset metabolisme, rasanya skeptis. Belum ada dorongan yang cukup kuat untuk mencobanya.
Titik Balik: 'Kalau Dia Bisa, Mengapa Tubuhku Tidak?'
Sampai suatu hari, aku melihat sendiri perubahan pada seorang teman—sakit lambungnya membaik, wajahnya jauh lebih segar, dan ia tampak lebih tenang. Dari situlah benih pertanyaan mulai tumbuh: jika tubuhnya bisa merespons begitu baik, mungkinkah tubuhku pun mengenali niat baik yang sama?
Aku terpikir, mungkinkah saat itu obat yang diminum temanku hanya mengobati simptom saja, tetapi tidak menyentuh hal yang mendasar, yaitu mengapa lambung bisa meradang? Jika metabolisme adalah proses dasar kehidupan, tentunya berbagai masalah kesehatan bisa jadi berawal dari sana.
Sampai akhirnya, aku mencoba 14 hari reset metabolisme dengan mengubah pola makan. Bukan diet. Bukan sekadar menahan lapar atau mengejar angka timbangan.
Ini benar-benar belajar kembali pada irama tubuh—mendengarnya, memahaminya, dan menyesuaikan hidup dengannya. Sebuah proses yang membuatku merasa tubuhku seperti rumah yang direnovasi pelan-pelan dari dalam.