Di ruang publik, antrean adalah salah satu bentuk peradaban. Satu baris kecil bisa memperlihatkan siapa yang sabar, siapa yang cerdik, dan siapa yang diam-diam belajar jujur. Ini adalah salah satu wujud etika mikro yang kerap teruji.
Sebuah Pagi di Minimarket
Pagi itu, aku sedang mengantre di depan kasir sebuah mini market. Di depanku ada seorang kakek dengan belanjaan yang lumayan banyak. Di belakangku, seorang ibu muda membawa keranjang berisi 2 kaleng susu dan perlengkapan bayi.
Kami menunggu dengan tenang. Sampai kudengar suara lirih dari arah samping antrean—bukan ke arahku, melainkan dari seorang ibu kepada anaknya.
"Kamu antre paling depan, gih. Kamu kan anak kecil. Pasti dikasih."
"Tapi, Ma ... bukannya aku harus di situ?"
Kuamati si anak tampak enggan. Ia menoleh, mencoba memberi isyarat tak setuju, sambil menunjuk belakang antrean. Namun, ibunya langsung membalas dengan tatapan tajam dan sedikit mendorong anaknya.
Anak itu melangkah maju, pelan, penuh keraguan menyelipkan badannya di depan kakek yang ada di antrean depanku. Aku lalu menyapanya dengan lembut.
"Nak, memang buru-buru mau sekolah?" tanyaku, karena melihat ia masih memakai seragam.
"Tidak, Tante. Saya sudah pulang sekolah," jawabnya pelan, matanya sedikit menunduk.
"Kalau begitu, antre depan Tante saja, ya. Kasihan Kakek, capek bawa belanjaan."
Aku menoleh ke belakang, ke arah ibu di belakangku. "Tak apa, ya, Bu?"
Beliau mengangguk dan tersenyum.
Namun, jawaban si anak membuatku tercenung.
"Tak apa, Tante. Saya paling belakang aja sesuai urutan. Tadi saya sudah mau begitu, tapi ...."