Di lain waktu, aku duduk di kursi prioritas; di sebelah kananku seorang nenek, di sebelah kiri ibu hamil. Tak lama, naiklah seorang ibu yang sedikit lebih muda dariku.
Ia bersandar di dekat pintu penghubung gerbong, tepat di hadapan tiga anak gadis yang duduk sambil cekikikan, asyik dengan obrolan mereka.
Aku pun menunggu, berharap salah satu dari mereka tergerak untuk berdiri. Namun, hingga beberapa menit, tak ada tanda-tanda kepedulian
Saat kembali memandang ibu tersebut, aku kaget. Wajahnya pucat, keringatnya membasahi pelipis dan tampak gemetar. Segera aku panggil beliau dan mempersilahkannya duduk di kursiku.
Beliau mengucap terima kasih dan begegas duduk lalu berkata, "Tadinya saya berharap yang muda yang mengalah, ternyata malah Ibu."
Kalimat itu membuatku terdiam, hanya mampu mengangguk sambil tersenyum. Ada rasa haru sekaligus getir. Haru karena bisa meringankan beban seseorang, getir karena ternyata empati kadang tidak datang dari mereka yang kita harapkan.
Mengapa Kebaikan Kecil Sering Terlupakan?
Dua pengalaman ini sederhana, tetapi meninggalkan kesan mendalam. Kadang kita terlalu sibuk, terlalu cuek, atau terlalu lelah untuk peduli.
Namun, satu kebaikan kecil—meski sekadar memberi jalan atau mengalah untuk tempat duduk—bisa menjadi pengingat bahwa kemanusiaan masih hidup di antara kita.
Random act of kindness mungkin tampak sepele. Namun di tengah sesak dan riuhnya perjalanan, kebaikan kecil di transportasi umum bisa menjadi oase yang menyegarkan. Sebuah senyum, sebuah uluran tangan, atau sekadar keberanian memberi jalan tidak akan pernah sia-sia. Ia bisa memberi dampak besar bagi orang lain, bahkan untuk yang melakukannya.
Jejak Hangat di Hati
Kebaikan memang tidak perlu menunggu momen besar. Ia bisa hadir di antara sesak gerbong, di bangku prioritas, atau di antrean panjang peron.
Setiap kali kebaikan itu hadir, ia meninggalkan jejak hangat di hati kita.