Di KRL, di angkot, bahkan saat berjalan kaki, makin sering kutemui orang-orang yang tenggelam dalam dunia mereka sendiri.Â
Headphone terpasang rapat di telinga, mata tertuju pada layar, seolah menciptakan gelembung tak kasatmata di tengah keramaian. Dunia di sekitar mereka tetap ramai, tetapi mereka tak benar-benar hadir.
Dahulu, di ruang publik yang sama, kita bisa saling menyapa, menawarkan tempat duduk, atau sekadar melempar senyum.
Kini, interaksi semacam itu makin jarang, tergantikan oleh kesibukan pribadi yang tidak ingin terganggu. Fenomena ini, yang semakin mengakar dalam keseharian kita, layak untuk direnungkan lebih dalam.
Saat Ruang Publik Menjadi Zona Pribadi
Kita hidup di zaman yang nyaris tak pernah benar-benar hening. Di tengah kebisingan itu, headphone menjadi pelarian.
Ia menawarkan ruang sunyi yang bisa dikontrol, dunia kecil yang bisa disetel sesuai selera---musik favorit, podcast inspirasional, white noise untuk menenangkan pikiran. Semua ada di ujung jari.
Namun, ada harga yang dibayar dalam diam.
Saat satu per satu dari kita masuk ke "gelembung pribadi" itu, ruang publik pun berubah. Bukan lagi tempat di mana sapaan atau senyuman mudah mengalir, melainkan zona steril dari interaksi spontan.
Seseorang terjatuh, ada yang kebingungan mencari alamat, atau seorang ibu kerepotan membawa anak dan belanjaan---sering kali dibiarkan begitu saja, bukan karena tak ada orang, melainkan karena tak ada yang benar-benar hadir.
Headphone memang tak bersuara bagi orang lain, tetapi ia bisa menjadi sekat yang memutus koneksi sosial.
Padahal, ruang publik bukan hanya jalan atau kursi tunggu. Ia adalah ekosistem relasi yang dibangun lewat kesadaran akan sekitar.Â