Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Pencinta tulisan renyah nan inspiratif

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gelembung di Tengah Keramaian | Etika Mikro di Ruang Publik #4

12 Juli 2025   07:35 Diperbarui: 11 Juli 2025   21:11 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tenggelam dalam suara sendiri di tengah keramaian kota bisa menciptakan "gelembung" yang nyaman. (Surprising_Media/Pixabay)

Di KRL, di angkot, bahkan saat berjalan kaki, makin sering kutemui orang-orang yang tenggelam dalam dunia mereka sendiri. 

Headphone terpasang rapat di telinga, mata tertuju pada layar, seolah menciptakan gelembung tak kasatmata di tengah keramaian. Dunia di sekitar mereka tetap ramai, tetapi mereka tak benar-benar hadir.

Dahulu, di ruang publik yang sama, kita bisa saling menyapa, menawarkan tempat duduk, atau sekadar melempar senyum.

Kini, interaksi semacam itu makin jarang, tergantikan oleh kesibukan pribadi yang tidak ingin terganggu. Fenomena ini, yang semakin mengakar dalam keseharian kita, layak untuk direnungkan lebih dalam.

Saat Ruang Publik Menjadi Zona Pribadi

Kita hidup di zaman yang nyaris tak pernah benar-benar hening. Di tengah kebisingan itu, headphone menjadi pelarian.

Ia menawarkan ruang sunyi yang bisa dikontrol, dunia kecil yang bisa disetel sesuai selera---musik favorit, podcast inspirasional, white noise untuk menenangkan pikiran. Semua ada di ujung jari.

Namun, ada harga yang dibayar dalam diam.

Saat satu per satu dari kita masuk ke "gelembung pribadi" itu, ruang publik pun berubah. Bukan lagi tempat di mana sapaan atau senyuman mudah mengalir, melainkan zona steril dari interaksi spontan.

Seseorang terjatuh, ada yang kebingungan mencari alamat, atau seorang ibu kerepotan membawa anak dan belanjaan---sering kali dibiarkan begitu saja, bukan karena tak ada orang, melainkan karena tak ada yang benar-benar hadir.

Headphone memang tak bersuara bagi orang lain, tetapi ia bisa menjadi sekat yang memutus koneksi sosial.

Padahal, ruang publik bukan hanya jalan atau kursi tunggu. Ia adalah ekosistem relasi yang dibangun lewat kesadaran akan sekitar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun