Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Aku suka menulis apa saja yang singgah di kepala: fiksi, humaniora, sampai lyfe writing. Kadang renyah, kadang reflektif, dan selalu kuselipkan warna. Seperti hidup: tak satu rasa, tetapi selalu ada makna.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Tentang Sebuah Gambar yang Tak Jadi Tercipta

29 Juni 2025   07:28 Diperbarui: 28 Juni 2025   18:31 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Catatan penulis:
Artikel ini merupakan refleksi lanjutan dari tulisan sebelumnya berjudul “Pulang ke Rumah Hati”,  tentang inner child dan keberanian menyapa luka masa kecil.

Saat hendak mengunggah artikel baru, aku mencoba membuat ilustrasi tentang inner child. Aku bayangkan seorang perempuan dewasa duduk di depan cermin; di dalamnya, bayangan anak kecil—dirinya sendiri—menangis.

Namun, sistem menolak. “Terlalu sensitif,” katanya.

Aku terdiam … bahkan sistem digital pun tak memberi ruang pada luka kecil itu.
Kupikir, hanya dunia nyata yang sering begitu.

Kita tumbuh dengan kalimat-kalimat seperti:
“Sudah, jangan diingat-ingat lagi.”
“Itu masa lalu, ngapain dibuka lagi.”
“Kamu kan sudah besar.”

Tapi anak itu ... masih ada!
Di sudut batin yang diam.
Menunggu, bukan untuk dikasihani—
hanya untuk ditemui.

Puisi Ini, Sebuah Surat Pulang

Hai, aku di masa kecil.
Maaf kalau baru sempat menyapamu.

Kalimat pembuka ini sederhana, tetapi menggugah.
Ia menyuarakan sebuah kesadaran baru—pengakuan bahwa kita pernah mengabaikan bagian rapuh dari diri sendiri, tanpa sengaja. Padahal, saat itu, kita hanya butuh dipeluk, bukan dipaksa mengerti semuanya sendiri.

Aku tahu, kadang kau menangis diam-diam—
takut dimarahi karena terlalu sensitif, terlalu takut, terlalu “bukan anak kuat”.

Banyak dari kita dibesarkan dalam narasi bahwa “anak yang baik itu kuat.” Tidak cengeng. Tidak terlalu peka. Tidak terlalu banyak bertanya. Lalu, air mata terbiasa kita sembunyikan. Kita percaya, perasaan bukanlah sesuatu yang layak diberi ruang.

Padahal, kita hanya butuh dipeluk, bukan dipaksa mengerti semuanya sendiri.

Kalimat itu terasa sederhana, tetapi sangat dalam. Kita tumbuh dengan ekspektasi untuk cepat mengerti. Untuk "mengalah karena lebih tua", "memahami karena kamu anak pertama", atau "tidak membuat repot".

Namun, siapa yang memeluk anak itu—saat ia terlalu lelah mengerti segalanya sendiri?

Hari ini, aku ingin bicara denganmu.
Bukan dengan kalimat motivasi,
bukan dengan kata-kata besar.
Cukup dengan suara yang dulu kau rindukan
“Tak apa kamu sedih. Aku di sini.”

Luka tidak selalu butuh solusi. Kadang, luka hanya butuh ditemani. Kalimat ini mengingatkan kita bahwa inner child tak minta disemangati.
Ia hanya ingin dipahami. Didengarkan. Dipeluk, bahkan jika itu hanya lewat kalimat yang pelan, " Tak apa kamu sedih. Aku di sini."

Dunia tak selalu hangat.
Tapi kita bisa belajar menciptakan hangat sendiri.
Perlahan dari dalam.
Lewat kata-kata kecil.
Lewat napas yang tak terburu-buru.
Lewat bahasa yang tak menghakimi.

Kalimat ini seperti nyala lilin di ruangan gelap. Ia tidak mengingkari bahwa dunia memang bisa dingin—tetapi juga tidak menyerah begitu saja.

Larik puisi itu mengajarkan kita bahwa rasa aman tidak selalu datang dari luar. Terkadang, hangat itu kita pelajari. Kita temukan perlahan, dengan cara sederhana: kata-kata yang lembut, napas yang tidak diburu waktu, dan bahasa yang tidak menyalahkan. Ironisnya, banyak dari kita justru paling keras pada diri sendiri.

Maafkan aku.
Aku terlalu sibuk tumbuh.
Terlalu sibuk menjadi “dewasa”.
Kupikir waktu akan membuatmu berhenti menangis.
Kupikir lupa bisa menggantikan peluk.

Bagian ini menyentuh ke titik paling manusiawi. Kita tak pernah benar-benar bermaksud meninggalkan diri kita yang kecil. Namun, dunia mendesak kita tumbuh cepat hingga lupa bahwa menjadi dewasa bukan soal meninggalkan rasa, melainkan mengolahnya menjadi ruang yang lebih luas untuk berbelas kasih—terutama pada diri sendiri.

Waktu tidak menyembuhkan, tetapi ia bisa melunak—kalau kita punya keberanian untuk menoleh.

Hari ini, aku datang bukan untuk menyuruhmu diam.
Tapi untuk duduk bersamamu.
Untuk menangis bersama jika perlu.
Untuk bilang—
“Aku ada di sini. Aku tak akan pergi lagi.
Bukan untuk tinggal, hanya memelukmu dalam rasa.”

Inilah momen pertemuan sejati. Bukan untuk memberi nasihat. Bukan untuk memperbaiki. Tapi untuk hadir, dan mengizinkan luka itu bersuara.

Inner child tidak butuh kita menjadi versi sempurna dari diri kita saat ini. Ia hanya butuh tahu bahwa akhirnya, ada seseorang yang mau duduk di sisinya—tanpa mengubah apa pun. Tanpa buru-buru menyuruhnya kuat.

(Lalu terdengar suara kecil dari balik cermin)
“Terima kasih ... akhirnya kamu pulang.”

Ini bukan akhir. Tapi titik pulang. Bagi sebagian dari kita, mungkin ini pertama kalinya.

Kenapa Kita Enggan Mengingat?
Tidak semua orang ingin menengok masa kecilnya. Sebagian memilih diam. Sebagian lain berkata, “Itu sudah lewat.”
Ada pula yang tak ingat apa-apa—bukan karena lupa, tapi karena ada bagian dari diri yang memilih menghapus untuk bertahan.

Semua itu wajar sebab mengingat bukan cuma perkara membuka ingatan, tetapi membuka rasa yang dulu tidak pernah mendapat tempat.

Kadang, kita tumbuh di lingkungan yang berkata:
“Jangan cengeng.”
“Masa gitu aja sedih?”
“Kamu harus kuat.”

Kata-kata itu melekat diam-diam. Mereka menjadi suara latar di kepala. Membuat kita merasa salah jika bersedih, merasa lemah jika takut, merasa gagal jika butuh dipeluk.

Lalu kita dewasa. Tapi suara itu tak hilang. Ia ikut tumbuh, dan menjadi bagian dari cara kita memperlakukan diri sendiri.

Ketika inner child bersuara—
Lewat gelisah yang tak jelas asalnya, lewat marah yang meledak tiba-tiba, atau lewat kelelahan yang tak bisa dijelaskan—sering kali, kita justru makin keras pada diri sendiri.

“Aku harusnya sudah bisa atasi ini.”
“Kok masih kepikiran hal sepele kayak gitu?”
“Aku nggak boleh lemah.”

Dan lagi-lagi … anak kecil itu disuruh diam.

Tapi kebenarannya adalah:
Kita tidak salah karena merasa. Kita tidak lemah karena masih menyimpan luka. Kita hanya belum sempat menyapa dan menerima bagian diri yang dulu terlalu cepat disuruh dewasa.

Dan jika hari ini kamu:

  • overthinking tanpa tahu kenapa,
  • sulit bilang tidak karena takut membuat orang kecewa,
  • mudah lelah padahal tak banyak hal terjadi, atau
  • selalu takut ditinggalkan ...

Mungkin, itu bukan sekadar pola. Mungkin, itu adalah jejak dari bagian kecil dalam dirimu yang belum pernah benar-benar disapa.

Menemui, Menerima, Bukan Tinggal
Salah satu kalimat paling menggetarkan dalam puisi ini berbunyi:

"Aku ada di sini. Aku tak akan pergi lagi.
Bukan untuk tinggal, hanya memelukmu dalam rasa."

Bagi sebagian orang, menengok masa lalu terasa menakutkan. Ada kekhawatiran akan terseret, tenggelam, atau bahkan hancur oleh kenangan yang lama dipendam. Padahal, menyapa inner child bukan berarti tinggal di sana, bukan berarti hidup di bawah bayangan luka.

Kita hadir bukan untuk terjebak, melainkan untuk mengakui bahwa rasa itu pernah ada—dan layak diterima.

Kadang, itulah yang paling sulit: menerima bahwa diri kita pernah kecil, pernah takut, pernah sangat ingin dipeluk, tetapi tak bisa memintanya.

Dalam budaya yang menuntut kemandirian sejak dini, kita sering mengira bahwa “kuat” berarti tak menangis, tak meminta, tak mengingat luka.

Padahal yang justru menyembuhkan adalah berani duduk di samping luka itu, dan berkata: aku di sini!

Bukan untuk memberi ceramah,
bukan untuk menghapus tangis,
tapi untuk menggenggam tangan kecil yang dulu dibiarkan sendiri.

Penerimaan adalah bentuk cinta paling sunyi, tapi juga paling dalam.

Dari sana, kita bisa belajar langkah berikutnya: melangkah bukan dengan mengabaikan luka, tetapi dengan mengajak luka itu ikut pulang.

Tentang Gambar yang Tak Jadi dan Surat yang Mungkin Lahir

Dan ternyata, gambar itu tak pernah jadi.
Mungkin karena luka tak bisa dilukis. Atau barangkali, karena tangis dalam diam, tak terdeteksi oleh mesin mana pun.

Dari sana, aku belajar bahwa tak semua yang penting harus terlihat.
Beberapa hal, cukup diakui keberadaannya—lalu dipeluk dalam diam.

Dan kalau kamu sampai di sini, barangkali ... ini bisa jadi undangan kecil.
Mungkin setelah membaca ini, kamu juga bisa menulis surat pulang untuk dirimu sendiri.
Tak perlu puitis. Tak perlu sempurna. Cukup jujur.

Terkadang, yang paling menyembuhkan bukan gambar, bukan kalimat indah, tetapi keberanian untuk berkata pelan:
"Aku ada di sini. Aku tak akan pergi lagi."

Mungkin memang tidak semua gambar bisa diciptakan.Mungkin, beberapa luka hanya bisa hadir dalam kata. Dan itu tak mengapa.
Karena nyatanya, bahkan sistem yang begitu canggih pun tak mampu menggambarkan wajah kecil yang tak pernah menangis di luar, tapi selalu basah di dalam.

Mungkin itulah kenapa, kita tak butuh gambar untuk menyadari: bahwa bagian kecil dari diri kita ... masih di sana, menunggu satu hal sederhana, untuk disapa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun