Semua itu wajar sebab mengingat bukan cuma perkara membuka ingatan, tetapi membuka rasa yang dulu tidak pernah mendapat tempat.
Kadang, kita tumbuh di lingkungan yang berkata:
“Jangan cengeng.”
“Masa gitu aja sedih?”
“Kamu harus kuat.”
Kata-kata itu melekat diam-diam. Mereka menjadi suara latar di kepala. Membuat kita merasa salah jika bersedih, merasa lemah jika takut, merasa gagal jika butuh dipeluk.
Lalu kita dewasa. Tapi suara itu tak hilang. Ia ikut tumbuh, dan menjadi bagian dari cara kita memperlakukan diri sendiri.
Ketika inner child bersuara—
Lewat gelisah yang tak jelas asalnya, lewat marah yang meledak tiba-tiba, atau lewat kelelahan yang tak bisa dijelaskan—sering kali, kita justru makin keras pada diri sendiri.
“Aku harusnya sudah bisa atasi ini.”
“Kok masih kepikiran hal sepele kayak gitu?”
“Aku nggak boleh lemah.”
Dan lagi-lagi … anak kecil itu disuruh diam.
Tapi kebenarannya adalah:
Kita tidak salah karena merasa. Kita tidak lemah karena masih menyimpan luka. Kita hanya belum sempat menyapa dan menerima bagian diri yang dulu terlalu cepat disuruh dewasa.
Dan jika hari ini kamu:
- overthinking tanpa tahu kenapa,
- sulit bilang tidak karena takut membuat orang kecewa,
- mudah lelah padahal tak banyak hal terjadi, atau
- selalu takut ditinggalkan ...
Mungkin, itu bukan sekadar pola. Mungkin, itu adalah jejak dari bagian kecil dalam dirimu yang belum pernah benar-benar disapa.
Menemui, Menerima, Bukan Tinggal
Salah satu kalimat paling menggetarkan dalam puisi ini berbunyi:
"Aku ada di sini. Aku tak akan pergi lagi.
Bukan untuk tinggal, hanya memelukmu dalam rasa."