Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Aku suka menulis apa saja yang singgah di kepala: fiksi, humaniora, sampai lyfe writing. Kadang renyah, kadang reflektif, dan selalu kuselipkan warna. Seperti hidup: tak satu rasa, tetapi selalu ada makna.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Tentang Sebuah Gambar yang Tak Jadi Tercipta

29 Juni 2025   07:28 Diperbarui: 28 Juni 2025   18:31 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Kalimat itu terasa sederhana, tetapi sangat dalam. Kita tumbuh dengan ekspektasi untuk cepat mengerti. Untuk "mengalah karena lebih tua", "memahami karena kamu anak pertama", atau "tidak membuat repot".

Namun, siapa yang memeluk anak itu—saat ia terlalu lelah mengerti segalanya sendiri?

Hari ini, aku ingin bicara denganmu.
Bukan dengan kalimat motivasi,
bukan dengan kata-kata besar.
Cukup dengan suara yang dulu kau rindukan
“Tak apa kamu sedih. Aku di sini.”

Luka tidak selalu butuh solusi. Kadang, luka hanya butuh ditemani. Kalimat ini mengingatkan kita bahwa inner child tak minta disemangati.
Ia hanya ingin dipahami. Didengarkan. Dipeluk, bahkan jika itu hanya lewat kalimat yang pelan, " Tak apa kamu sedih. Aku di sini."

Dunia tak selalu hangat.
Tapi kita bisa belajar menciptakan hangat sendiri.
Perlahan dari dalam.
Lewat kata-kata kecil.
Lewat napas yang tak terburu-buru.
Lewat bahasa yang tak menghakimi.

Kalimat ini seperti nyala lilin di ruangan gelap. Ia tidak mengingkari bahwa dunia memang bisa dingin—tetapi juga tidak menyerah begitu saja.

Larik puisi itu mengajarkan kita bahwa rasa aman tidak selalu datang dari luar. Terkadang, hangat itu kita pelajari. Kita temukan perlahan, dengan cara sederhana: kata-kata yang lembut, napas yang tidak diburu waktu, dan bahasa yang tidak menyalahkan. Ironisnya, banyak dari kita justru paling keras pada diri sendiri.

Maafkan aku.
Aku terlalu sibuk tumbuh.
Terlalu sibuk menjadi “dewasa”.
Kupikir waktu akan membuatmu berhenti menangis.
Kupikir lupa bisa menggantikan peluk.

Bagian ini menyentuh ke titik paling manusiawi. Kita tak pernah benar-benar bermaksud meninggalkan diri kita yang kecil. Namun, dunia mendesak kita tumbuh cepat hingga lupa bahwa menjadi dewasa bukan soal meninggalkan rasa, melainkan mengolahnya menjadi ruang yang lebih luas untuk berbelas kasih—terutama pada diri sendiri.

Waktu tidak menyembuhkan, tetapi ia bisa melunak—kalau kita punya keberanian untuk menoleh.

Hari ini, aku datang bukan untuk menyuruhmu diam.
Tapi untuk duduk bersamamu.
Untuk menangis bersama jika perlu.
Untuk bilang—
“Aku ada di sini. Aku tak akan pergi lagi.
Bukan untuk tinggal, hanya memelukmu dalam rasa.”

Inilah momen pertemuan sejati. Bukan untuk memberi nasihat. Bukan untuk memperbaiki. Tapi untuk hadir, dan mengizinkan luka itu bersuara.

Inner child tidak butuh kita menjadi versi sempurna dari diri kita saat ini. Ia hanya butuh tahu bahwa akhirnya, ada seseorang yang mau duduk di sisinya—tanpa mengubah apa pun. Tanpa buru-buru menyuruhnya kuat.

(Lalu terdengar suara kecil dari balik cermin)
“Terima kasih ... akhirnya kamu pulang.”

Ini bukan akhir. Tapi titik pulang. Bagi sebagian dari kita, mungkin ini pertama kalinya.

Kenapa Kita Enggan Mengingat?
Tidak semua orang ingin menengok masa kecilnya. Sebagian memilih diam. Sebagian lain berkata, “Itu sudah lewat.”
Ada pula yang tak ingat apa-apa—bukan karena lupa, tapi karena ada bagian dari diri yang memilih menghapus untuk bertahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun