Bagi sebagian orang, menengok masa lalu terasa menakutkan. Ada kekhawatiran akan terseret, tenggelam, atau bahkan hancur oleh kenangan yang lama dipendam. Padahal, menyapa inner child bukan berarti tinggal di sana, bukan berarti hidup di bawah bayangan luka.
Kita hadir bukan untuk terjebak, melainkan untuk mengakui bahwa rasa itu pernah ada—dan layak diterima.
Kadang, itulah yang paling sulit: menerima bahwa diri kita pernah kecil, pernah takut, pernah sangat ingin dipeluk, tetapi tak bisa memintanya.
Dalam budaya yang menuntut kemandirian sejak dini, kita sering mengira bahwa “kuat” berarti tak menangis, tak meminta, tak mengingat luka.
Padahal yang justru menyembuhkan adalah berani duduk di samping luka itu, dan berkata: aku di sini!
Bukan untuk memberi ceramah,
bukan untuk menghapus tangis,
tapi untuk menggenggam tangan kecil yang dulu dibiarkan sendiri.
Penerimaan adalah bentuk cinta paling sunyi, tapi juga paling dalam.
Dari sana, kita bisa belajar langkah berikutnya: melangkah bukan dengan mengabaikan luka, tetapi dengan mengajak luka itu ikut pulang.
Tentang Gambar yang Tak Jadi dan Surat yang Mungkin Lahir
Dan ternyata, gambar itu tak pernah jadi.
Mungkin karena luka tak bisa dilukis. Atau barangkali, karena tangis dalam diam, tak terdeteksi oleh mesin mana pun.
Dari sana, aku belajar bahwa tak semua yang penting harus terlihat.
Beberapa hal, cukup diakui keberadaannya—lalu dipeluk dalam diam.