Cerpen ini menautkan benang-benang halus dari trilogi suara hati Arini: Agar Tersisa Ruang, Dalam Genggam Realitas, dan Mendung Membawa Namamu.
Pagi ini, Arini menggigil—bukan karena dingin.
Ada sepi yang belum selesai dibicarakan dalam dirinya. Ia meraih cangkir kecilnya, menyendok bubuk hitam itu perlahan. Aromanya akrab—getir, tetapi hangat.
“Dari Raka,” gumamnya lirih, entah mengapa bibirnya masih menyebut nama itu dengan lembut.
Ia menyesap pelan. Mencoba mengalihkan rindu pada kopi. Namun, tiap tegukan justru mengajak kenangan pulang, yang belum benar-benar meluruh.
Ia tahu, rasanya tak akan habis di pagi ini saja. Setidaknya, ia bisa menikmatinya sedikit demi sedikit … sambil belajar melepaskan jejak yang tertinggal di hati.
Suara Raka
Raka menatap kosong cangkirnya yang nyaris kosong.
Pahit yang tertinggal di lidahnya entah dari kopi atau dari kenangan. Ia tak tahu.
Sudah dua minggu sejak ia dan Arini tak berbicara. Bukan karena marah, bukan juga karena selesai. Ia ... tidak tahu harus bicara apa lagi.
Ia masih ingat saat Arini pergi tanpa suara, hanya satu kalimat di akhir pesan.
“Aku hanya sedikit bergeser dari pandangmu, agar tersisa ruang di antara kita.”
Raka ingin tertawa, tetapi tenggorokannya terlalu sempit untuk itu.
Arini, ruang itu kau beri agar aku bisa bernapas,
tapi yang terasa justru sesak,
karena tak kutemukan lagi arah
tanpa matamu sebagai utara.
“Kau tahu, Rin,” batinnya bergumam.
“Ruang itu terlalu besar tanpa suaramu. Dan aku … terlalu kecil untuk menahannya sendirian.”