Malam itu, Sandy duduk di beranda rumah kayu bersama ayahnya. Lampu minyak berkelip, menyorot wajah ayahnya yang penuh garis kehidupan. Seperti biasa, ayahnya mulai bercerita tentang masa lalu."Medan ini, Nak," ucapnya perlahan, "pernah menjadi lautan api. Rakyatnya berdiri melawan penjajah, meski hanya bersenjatakan bambu runcing. Itulah yang disebut Pertempuran Medan Area."Sandy menatap ayahnya penuh rasa ingin tahu. Ia tahu Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, tapi ayahnya berkata, "Merdeka di atas kertas berbeda dengan merdeka yang sesungguhnya."
Awal Kekacauan
Setelah Jepang menyerah pada Sekutu, berita proklamasi sampai ke Medan. Rakyat bersorak, bendera merah putih berkibar di rumah-rumah, kantor, dan sekolah. Tapi kebahagiaan itu hanya sebentar.Pasukan Sekutu datang, katanya untuk melucuti Jepang. Tapi bersama mereka ikut orang-orang Belanda dalam organisasi NICA, yang diam-diam ingin kembali menjajah.Medan yang baru saja merdeka tiba-tiba dipenuhi serdadu asing. Senjata diarahkan ke rakyat, aturan baru ditegakkan. Api kemarahan mulai menyala.
Pemicu Pertempuran
Tanggal 13 Oktober 1945 menjadi awal. Di sebuah hotel besar bernama Hotel Oranje (kini Hotel Inna Dharma Deli), berkibar bendera merah putih. Tapi seorang perwira Belanda menurunkannya dan mengganti dengan bendera Belanda---merah, putih, biru."Rakyat marah besar," kata ayahnya. "Pemuda menyerbu hotel itu, bendera Belanda dirusak. Dari situlah pertempuran meledak."Bentrok antara pemuda Medan dan tentara Belanda tak terelakkan. Teriakan "Merdeka!" menggema di jalan-jalan Kota Medan.
Medan Area Menjadi Medan Perang
Pertempuran semakin luas. Pasukan pemuda dan laskar rakyat dibantu Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Mereka membentuk garis perlawanan, mempertahankan kota. Ayahnya bercerita tentang Bung Syahrir yang memberi dukungan politik dari Jakarta, dan tokoh-tokoh lokal yang memimpin perlawanan. Laskar rakyat terdiri dari pelajar, petani, bahkan buruh kebun tembakau di Deli Serdang. Sandy membayangkan anak-anak muda seumurannya yang rela meninggalkan sekolah, lalu memanggul bambu runcing. Mereka tahu musuh punya senapan, tank, bahkan pesawat. Tapi semangat jauh lebih besar daripada rasa takut.
Suasana Kota yang Membara
Jalanan Medan kala itu penuh asap. Gedung-gedung kolonial menjadi titik perlawanan. Rakyat membuat barikade dari batang pohon, drum minyak, dan puing bangunan. "Medan benar-benar jadi medan tempur," kata ayahnya. "Itulah kenapa peristiwa ini disebut Pertempuran Medan Area." Belanda berusaha menguasai kembali perkebunan tembakau Deli, harta paling berharga di Sumatra Timur. Tapi rakyat tak rela. Perkebunan itu adalah tanah mereka, darah mereka.
Korban dan Pengorbanan
Hari-hari pertempuran berubah jadi minggu, lalu bulan. Banyak yang gugur. Pemuda, bapak, bahkan ibu-ibu ikut berjuang. Ada yang menyiapkan makanan untuk laskar, ada yang menjadi kurir pesan rahasia, ada pula yang rela rumahnya terbakar demi menghalangi pasukan Belanda. "Banyak makam pahlawan di kota ini, Nak," ucap ayahnya lirih. "Itu bukan sekadar nama di batu nisan. Itu adalah anak muda yang memilih mati demi kita bisa hidup merdeka." Sandy merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia membayangkan betapa setiap nyawa yang gugur menyirami bumi Medan dengan darah perjuangan.
Nilai dari Pertempuran
Meski akhirnya pasukan Belanda dengan persenjataan modern berhasil mendesak laskar rakyat keluar dari kota, pertempuran itu tidak sia-sia. Pertempuran Medan Area menjadi simbol perlawanan rakyat Sumatra, bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan hak yang harus dipertahankan. "Pertempuran ini, Nak," kata ayahnya sambil menatap Sandy, "mengajarkan bahwa persatuan rakyat bisa mengguncang kekuatan besar. Mereka berjuang bukan untuk diri sendiri, tapi untuk anak cucu. Untuk kita."
Pesan untuk Generasi
Ayahnya menutup cerita dengan suara bergetar. "Sekarang kau tidak perlu lagi mengangkat bambu runcing. Perjuanganmu berbeda: belajar, menjaga persatuan, menolak perpecahan, dan membangun bangsa. Jangan biarkan pengorbanan mereka sia-sia." Sandy terdiam. Dalam hati kecilnya, ia berjanji. Jika dulu pemuda Medan berani mati demi merah putih, maka ia pun harus berani hidup dengan menjaga nilai-nilai itu. Malam semakin pekat, tapi Sandy merasa ada cahaya yang menyala dalam dadanya: api semangat perjuangan yang diwariskan para pahlawan. Api itu tak boleh padam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI