Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Pemangkasan BUMD Jawa Barat: Efisiensi Anggaran Atau Peminggiran Rakyat Marhaen?

27 Agustus 2025   06:43 Diperbarui: 27 Agustus 2025   06:48 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Pribadi/Instagram 

Pemangkasan jumlah dan peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) kerap dikemas sebagai "keputusan teknokratis" demi efisiensi fiskal dan perbaikan tata kelola. Di Jawa Barat, wacana merampingkan BUMD --- termasuk gagasan superholding, restrukturisasi komisaris, dan relokasi anggaran --- sedang berjalan dalam kerangka narasi efisiensi itu. Namun, di balik jargon efisiensi, ada pertanyaan ideologis yang lebih mendasar: apakah pemangkasan BUMD ini benar-benar memperbaiki fungsi negara untuk rakyat kecil (marhaen), atau justru mereduksi ruang ekonomi publik yang selama ini menjadi andalan kedaulatan ekonomi lokal? Tulisan ini membaca fenomena tersebut dari sisi data, berita terkini, teori ekonomi, dan warisan pemikiran revolusioner Indonesia. 

Berita dan data terkini: apa yang terjadi di lapangan?

Sejak awal 2025, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menempatkan agenda efisiensi anggaran dalam prioritas APBD Perubahan, dengan relokasi hingga triliunan rupiah untuk program prioritas---sebuah sinyal bahwa pembenahan anggaran jadi fokus utama. Pada saat yang sama, ada dorongan formal untuk "mematangkan kajian" pembentukan superholding BUMD yang disebut-sebut dapat menyederhanakan struktur dan meningkatkan sinergi. DPRD dan birokrat daerah tampak mendiskusikan opsi-opsi ini secara aktif. 

Dari sisi portofolio, BPS Provinsi Jawa Barat menerbitkan profil BUMD yang menunjukkan keragaman fungsi: dari jasa publik, infrastruktur, hingga energi dan penunjang perekonomian lokal. Laporan ini juga menyajikan indikator keuangan BUMD yang beragam---ada yang untung, ada yang rugi; ada yang padat modal, ada yang padat tenaga kerja. Singkatnya: BUMD bukan satu entitas homogen yang gampang "dipangkas" tanpa konsekuensi berbeda. 

Kasus-kasus lokal---seperti dugaan gagal bayar dan masalah tata kelola pada beberapa BUMD kabupaten/kota---serta pemeriksaan BPK terhadap sejumlah entitas menunjukkan adanya masalah nyata pada pengawasan dan governance. Namun masalah governance bukan jawaban otomatis untuk solusi "memangkas" kepemilikan negara: sering kali solusi yang lebih tepat adalah perbaikan manajemen, audit, transparansi, dan akuntabilitas. 

Efisiensi versus nilai publik: bingkai teori yang relevan

Debat tentang apakah SOE/BUMD harus dipangkas atau direnovasi bukan hal baru dalam literatur ekonomi publik. Kajian-kajian besar (IMF, OECD, IADB, studi akademik) menunjukkan hasil yang campur aduk: reformasi dan privatisasi tidak selalu memberikan efisiensi yang konsisten---hasilnya bergantung pada konteks institusional, desain reform, dan tujuan non-finansial yang dipikul perusahaan negara (mis. pelayanan publik, pemerataan, ketahanan). Dengan kata lain, reformasi BUMD yang berhasil memerlukan desain yang peka pada tujuan publik dan mekanisme pengawasan yang kuat. 

Dari perspektif ekonomi kesejahteraan dan public choice, ada dua ancaman saat negara "memangkas" kehadiran ekonomi publik tanpa desain yang jelas. Pertama, bila pemangkasan dilakukan karena tekanan politis atau untuk membuka ruang bagi oligarki dan privat yang terafiliasi, maka distribusi manfaat cenderung berpindah dari marhaen ke elite (government capture). Kedua, bila pemangkasan mengabaikan kegunaan publik BUMD (seperti layanan universal, subsidi silang untuk wilayah terluar), efisiensi alokatif jangka panjang bagi masyarakat bisa menurun meski neraca fiskal jangka pendek tampak rapi. Literatur keseluruhan menganjurkan: reformasi BUMD harus diorientasikan pada "public value", bukan sekadar angka profit. 

Perspektif ideologis: Marhaenisme dan cita-cita kedaulatan ekonomi

Bung Karno mengenalkan figur "Marhaen" sebagai simbol jiwa rakyat kecil yang harus jadi subjek, bukan objek, pembangunan nasional. Prinsip dasar itu bukan romantisisme petani semata; ia menandaskan bahwa kedaulatan nasional menuntut kemandirian ekonomi rakyat---bukan penyerahan mutlak kepada pasar luar atau kepada akumulasi modal privat. Kutipan-kutip kutipan Bung Karno seperti "Beri aku 1.000 orang tua... Beri aku 10 pemuda..." bukan hanya retorika gerakan; ia menekankan peran rakyat dan generasi yang kritis sebagai motor perubahan. Jika BUMD adalah salah satu instrumen kedaulatan ekonomi daerah, maka pemangkasan yang mengabaikan fungsi marhaen akan menjadi pengkhianatan terhadap semangat itu. 

Bung Hatta, sebagai arsitek pemikiran koperasi dan ekonomi kerakyatan, juga memberi arah: ekonomi bukan sekadar soal laba perusahaan, tetapi soal pembentukan struktur yang memungkinkan rakyat berpartisipasi dan sejahtera. Hatta menilai koperasi---bukan monopoli privat---sebagai sarana pendidikan ekonomi bagi rakyat. Dalam konteks BUMD, peran negara untuk men-support infrastruktur ekonomi lokal dan memberi ruang bagi koperasi/UKM mesti menjadi standar penilaian sebelum kebijakan "pemangkasan" diberlakukan. 

Tan Malaka dan pemikir revolusioner lain yang menekankan kemandirian politik-ekonomi mengingatkan bahwa reformasi yang tidak memasukkan perspektif kelas dan distribusi kekuasaan cenderung memperkaya sedikit pihak. Ini bukan seruan dogmatis---melainkan peringatan bahwa desain reformasi harus mencerminkan tujuan kesejahteraan bersama, bukan sekadar rasionalitas pasar. 

Analisis kritis: tiga risiko nyata pemangkasan BUMD tanpa kerangka publik-value

1. Penghilangan buffer sosial-ekonomi lokal. Banyak BUMD menjalankan fungsi pelayanan yang tidak selalu profitabel namun penting: subsidi silang layanan, penyediaan infrastruktur dasar, pekerjaan lokal. Mengurangi BUMD tanpa alternatif dapat mengikis jaring pengaman bagi marhaen. (Data profil BUMD Jabar menunjukkan heterogenitas fungsi dan ukuran BUMD). 

2. Risiko oligarkisasi aset publik. Bila pemangkasan atau privatisasi dilakukan tanpa transparansi dan tender terbuka yang kuat, aset publik berisiko jatuh ke aktor swasta terafiliasi kepentingan politik---menggeser manfaat dari publik ke segelintir pemain. Pengalaman reformasi SOE di banyak negara menunjukkan ini sebagai bahaya nyata ketika governance lemah. 

3. Kegagalan tata kelola versus solusi struktural. Kasus gagal bayar atau maladministrasi pada beberapa BUMD adalah sinyal perlunya perbaikan governance---bukan pembubaran massal. Reformasi yang baik mengutamakan audit menyeluruh, mekanisme pengawasan, pembenahan komisaris/direksi, serta pembentukan standar kinerja agregat (aggregate reporting) sebagaimana dianjurkan OECD/IMF. 

Rekomendasi kebijakan: efisiensi yang berjiwa marhaen

1. Kajian berbasis bukti (not political convenience). Semua opsi (superholding, merger, likuidasi) harus melalui kajian dampak sosial-ekonomi, analisis biaya-manfaat publik, dan uji kepatutan terhadap tujuan pembangunan daerah. DPRD dan masyarakat sipil harus diberi akses materi kajian. 

2. Prioritaskan tata kelola---bukan hanya pemangkasan. Perbaikan komposisi komisaris, mekanisme audit, pakta integritas, dan pelaporan agregat adalah langkah awal sebelum opsi lebih drastis. OECD dan IMF menekankan monitoring portofolio sebagai prasyarat reform SOE. 

3. Proteksi fungsi sosial BUMD. Sebelum dilikuidasi, identifikasi fungsi non-market yang harus dipertahankan---mis. layanan air, transportasi, infrastruktur publik---dan rancang mekanisme subsidi atau bentuk kelembagaan alternatif (koperasi, BUMDes, kemitraan publik-swasta yang jelas aturannya). 

4. Transparansi dan partisipasi publik. Reformasi yang diputuskan tertutup memberi ruang bagi spekulasi dan kekhawatiran marhaen. Publik harus dilibatkan dalam tahap evaluasi---ini bukan ritual, tetapi pengukuran legitimasi kebijakan. 

Penutup: efisiensi dapat, peminggiran tidak boleh

Efisiensi fiskal adalah keniscayaan, tetapi efisiensi yang mengorbankan kedaulatan ekonomi rakyat adalah jebakan ideologis. Jika kata-kata Bung Karno tentang marhaen dan Bung Hatta tentang koperasi masih relevan hari ini, maka pemangkasan BUMD Jawa Barat harus diukur bukan hanya dari angka di neraca, tetapi dari apakah keputusan itu memperkuat atau mereduksi posisi marhaen dalam ekonomi daerah. Efisiensi bisa dicapai tanpa meminggirkan rakyat---asal niat reformasi jelas, instrumen pengawasan kuat, dan tujuan publik dijadikan penentu akhir. Bung Karno pernah mengingatkan pentingnya rakyat sebagai subjek sejarah; reformasi ekonomi daerah harus memastikan rakyat tetap di kursi pengemudi, bukan penumpang yang dilempar ke pinggir jalan. 

---

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun