Tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan untuk setiap Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sudah dihentikan setelah unjuk rasa terjadi di berbagai daerah pada akhir Agustus lalu. Protes besar-besaran terjadi lantaran rakyat masih hidup dalam kesulitan ekonomi smentara wakil rakyat keenakan dengan tunjangan fantastis.
Setelah sorotan terhadap tunjagan DPR RI mereda, sorotan beralih ke kenaikan tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di sejumlah daerah termasuk Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Mengutip cnnindonesia.com, tunjangan perumahan DPRD NTT sebesar Rp 23,6 juta per orang setiap bulan.
Sementara itu tunjangan transportasi untuk Ketua DPRD sebesar Rp 31,8 juta, tunjangan transportasi Wakil Ketua DPRD Rp 30,6 juta dan tunjangan transportasi untuk anggota DPRD Rp 29,5 juta per orang setiap bulan.
Akumulasi dua tunjangan ini, Ketua DPRD mendapat Rp 55,4 juta, Wakil Ketua Rp 54,2 juta dan anggota Rp 53 juta per bulan. Total tunjangan untuk 65 wakil rakyat di DPRD NTT untuk setahun adalah Rp 41,4 miliar. Tunjangan sebesar puluhan juta per bulan ini membuat jiwa miskin seseorang bergetar ketika mengetahuinya.
Kedua tunjangan DPRD NTT ini diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) NTT nomor 22 tahun 2025 tentang perubahan atas Peraturan Gubernur NTT nomor 72 tahun 2024 tentang besaran tunjangan perumahan dan transportasi bagi pimpinan dan anggota DPRD NTT.
Ketika tunjangan tersebut mendapat sorotan, Ketua DPRD NTT Emilia Nomleni kekeuh bahwa sudah sesuai aturan. Menurut berita flores.tribunnews.com, Ketua DPRD NTT bilang besaran tunjangan juga sudah sesuai peraturan pemerintah, Peraturan Mentri Dalam Negeri, serta survei sebelum diputuskan dalam Pergub. Keputusan tersebut juga sudah dikonsultasikan dengan Kementrian Dalam Negeri dan sesuai kemampuan daerah.
Sementara itu Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena, seperti dikutip dari Kompas.com, mengatakan tunjangan fantastis DPRD NTT karena kebutuhan di daerah pemilihan (Dapil) sangat tinggi dan digunakan untuk membantu masyarakat. Tunjangan tersebut digunakan untuk urusan konstituen. Meskipun demikian, gubernur berjanji akan mengevaluasi kembali tunjangan tersebut bersama para anggota dan pimpinan DPRD NTT.
Meskipun tunjangan DPRD NTT dibilang sudah sesuai kemampuan daerah namun besarannya kontras dengan kehidupan rakyat NTT yang masih miskin. Menurut data Badan Pusat Statistik NTT dalam ntt.bps.go.id, penduduk miskin di NTT pada September 2024 sebesar 19,02 persen atau 1,11 juta orang.
Kontrasnya tunjangan DPRD NTT dengan kemiskinan membuat masyarakat gencar menolak kenaikan tunjangan tersebut. DPRD dikecam di dunia maya lewat postingan-postingan media sosial hingga demo di dunia nyata.
Dalam imajinasi publik, mengapa dana tunjangan yang puluhan miliar tersebut tidak digunakan saja untuk memberdayakan masyarakat yang miskin?