Bung Hatta, sebagai arsitek pemikiran koperasi dan ekonomi kerakyatan, juga memberi arah: ekonomi bukan sekadar soal laba perusahaan, tetapi soal pembentukan struktur yang memungkinkan rakyat berpartisipasi dan sejahtera. Hatta menilai koperasi---bukan monopoli privat---sebagai sarana pendidikan ekonomi bagi rakyat. Dalam konteks BUMD, peran negara untuk men-support infrastruktur ekonomi lokal dan memberi ruang bagi koperasi/UKM mesti menjadi standar penilaian sebelum kebijakan "pemangkasan" diberlakukan.Â
Tan Malaka dan pemikir revolusioner lain yang menekankan kemandirian politik-ekonomi mengingatkan bahwa reformasi yang tidak memasukkan perspektif kelas dan distribusi kekuasaan cenderung memperkaya sedikit pihak. Ini bukan seruan dogmatis---melainkan peringatan bahwa desain reformasi harus mencerminkan tujuan kesejahteraan bersama, bukan sekadar rasionalitas pasar.Â
Analisis kritis: tiga risiko nyata pemangkasan BUMD tanpa kerangka publik-value
1. Penghilangan buffer sosial-ekonomi lokal. Banyak BUMD menjalankan fungsi pelayanan yang tidak selalu profitabel namun penting: subsidi silang layanan, penyediaan infrastruktur dasar, pekerjaan lokal. Mengurangi BUMD tanpa alternatif dapat mengikis jaring pengaman bagi marhaen. (Data profil BUMD Jabar menunjukkan heterogenitas fungsi dan ukuran BUMD).Â
2. Risiko oligarkisasi aset publik. Bila pemangkasan atau privatisasi dilakukan tanpa transparansi dan tender terbuka yang kuat, aset publik berisiko jatuh ke aktor swasta terafiliasi kepentingan politik---menggeser manfaat dari publik ke segelintir pemain. Pengalaman reformasi SOE di banyak negara menunjukkan ini sebagai bahaya nyata ketika governance lemah.Â
3. Kegagalan tata kelola versus solusi struktural. Kasus gagal bayar atau maladministrasi pada beberapa BUMD adalah sinyal perlunya perbaikan governance---bukan pembubaran massal. Reformasi yang baik mengutamakan audit menyeluruh, mekanisme pengawasan, pembenahan komisaris/direksi, serta pembentukan standar kinerja agregat (aggregate reporting) sebagaimana dianjurkan OECD/IMF.Â
Rekomendasi kebijakan: efisiensi yang berjiwa marhaen
1. Kajian berbasis bukti (not political convenience). Semua opsi (superholding, merger, likuidasi) harus melalui kajian dampak sosial-ekonomi, analisis biaya-manfaat publik, dan uji kepatutan terhadap tujuan pembangunan daerah. DPRD dan masyarakat sipil harus diberi akses materi kajian.Â
2. Prioritaskan tata kelola---bukan hanya pemangkasan. Perbaikan komposisi komisaris, mekanisme audit, pakta integritas, dan pelaporan agregat adalah langkah awal sebelum opsi lebih drastis. OECD dan IMF menekankan monitoring portofolio sebagai prasyarat reform SOE.Â
3. Proteksi fungsi sosial BUMD. Sebelum dilikuidasi, identifikasi fungsi non-market yang harus dipertahankan---mis. layanan air, transportasi, infrastruktur publik---dan rancang mekanisme subsidi atau bentuk kelembagaan alternatif (koperasi, BUMDes, kemitraan publik-swasta yang jelas aturannya).Â
4. Transparansi dan partisipasi publik. Reformasi yang diputuskan tertutup memberi ruang bagi spekulasi dan kekhawatiran marhaen. Publik harus dilibatkan dalam tahap evaluasi---ini bukan ritual, tetapi pengukuran legitimasi kebijakan.Â