Arah pendidikan di Indonesia yang masih belum memiliki kejelasan visi dan keterkaitan kuat dengan kebutuhan industri mulai memunculkan masalah serius, yakni lonjakan angka pengangguran.
Pendidikan sering dianggap sebagai kunci untuk membuka peluang ekonomi yang lebih baik. Dalam teori klasik pembangunan, semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, semakin besar peluangnya untuk mendapatkan pekerjaan layak. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan paradoks: meskipun jumlah lulusan pendidikan menengah dan tinggi terus meningkat, tingkat pengangguran—terutama di kalangan terdidik—masih tergolong tinggi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah arah pendidikan kita sudah sejalan dengan kebutuhan dunia kerja?
Tren Pengangguran Berdasarkan Pendidikan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) selama periode 2021–2023, terlihat tren penurunan tingkat pengangguran secara umum, namun ketimpangan antar jenjang pendidikan tetap nyata. Data Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menunjukkan:
SMK: 11,13% (2021) → 9,42% (2022) → 9,00% (2023)
SMA: 8,55% (2021) → 7,74% (2022) → 7,23% (2023)
Diploma: 6,92% (2021) → 5,87% (2022) → 5,51% (2023)
Sarjana: 5,98% (2021) → 5,59% (2022) → 5,23% (2023)
Angka ini menegaskan bahwa lulusan SMK—yang seharusnya siap kerja—justru menduduki posisi teratas dalam pengangguran. Fenomena ini bertolak belakang dengan tujuan awal pendirian SMK yang difokuskan untuk melahirkan tenaga kerja terampil siap pakai.
Kesenjangan Kompetensi dan Kebutuhan Industri