Salah satu faktor utama yang menjelaskan tingginya pengangguran pada lulusan SMK dan SMA adalah mismatch antara kompetensi lulusan dan kebutuhan industri. Menurut penelitian yang diterbitkan dalam Indonesian Journal of Development Planning (2022), banyak kurikulum sekolah kejuruan yang belum mengikuti perkembangan teknologi dan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Industri saat ini bergerak cepat, terutama di bidang digital, manufaktur modern, dan energi terbarukan. Sementara itu, sebagian SMK masih mengajarkan materi berbasis teknologi lama, sehingga lulusan kesulitan bersaing di pasar kerja. Akibatnya, lulusan terpaksa mengambil pekerjaan di sektor informal atau bahkan menganggur.
Pendidikan Tinggi: Antara Harapan dan Kenyataan
Meski tingkat pengangguran sarjana lebih rendah dibandingkan lulusan SMA dan SMK, angka 5,23% (2023) tetap menjadi catatan serius. Banyak lulusan perguruan tinggi mengalami underemployment, yakni bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan keahlian atau di bawah level kualifikasi mereka.
Fenomena ini diperkuat oleh data dari World Bank Education Report (2022) yang menyatakan bahwa 40% lulusan universitas di Indonesia bekerja di sektor yang tidak memerlukan gelar sarjana. Hal ini menunjukkan bahwa gelar akademis tidak lagi menjadi jaminan untuk memperoleh pekerjaan yang relevan dan sesuai harapan.
Dampak Arah Pendidikan yang Tidak Terarah
Arah pendidikan yang tidak jelas memicu beberapa masalah besar:
1. Pengangguran Struktural
Terjadi ketika jenis pekerjaan yang tersedia tidak sesuai dengan keahlian lulusan. Misalnya, lulusan teknik yang sulit mendapat pekerjaan karena lapangan kerja justru banyak tersedia di sektor jasa.
2. Overeducation
Terjadi ketika seseorang memiliki kualifikasi pendidikan lebih tinggi dari yang dibutuhkan pekerjaannya. Kondisi ini tidak hanya menghambat produktivitas, tetapi juga menurunkan motivasi kerja.