Lailatul Qadar: Malam yang Dirahasiakan Tuhan
Oleh Dikdik Sadikin
MALAM itu tidak datang dengan dentang lonceng atau kerlip lampu kota. Ia menyusup pelan seperti desir angin yang menggugurkan dosa dari ranting jiwa. Dalam sunyi ganjil sepuluh terakhir Ramadhan, ada malam yang disembunyikan, seperti cinta yang tak sempat disebut. Malaikat turun memberikani salam. Dan langit, untuk satu malam itu, tak lagi menyimpan jarak.
"Lailatul Qadar khairun min alfi syahr."
Satu malam lebih baik daripada seribu bulan.
(QS. Al-Qadr: 3)
Apa yang bisa dijanjikan oleh malam, melebihi seribu bulan? Para pemikir akan berkata: ini bukan sekadar jumlah, ini adalah loncatan makna.
Seribu bulan adalah delapan puluh tiga tahun, usia seumur hidup. Tetapi malam itu adalah perpanjangan waktu di luar sejarah, di luar arloji, ketika Tuhan menghapus batas antara fana dan kekal. Seperti ditulis Jalaluddin Rumi, "Malam-malam seperti ini, bumi menggeliat dan bintang-bintang mendekat."
Di sinilah metafora menemukan rumahnya. Lailatul Qadar adalah taman cahaya di padang kegelapan. Seperti bintang yang meledak dalam sunyi dan menyinari galaksi. Atau seperti sebutir doa yang dilempar dari bumi dan menjelma pelangi di langit tak bersuara. Ibn Abbas menyebut malam ini sebagai "malam ketika seluruh langit merunduk, mendengar bisikan hamba."
Hadis Nabi SAW menyatakan: "Carilah Lailatul Qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir Ramadhan."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Namun, Lailatul Qadar bukan malam yang bisa ditangkap dengan kalender. Ia seperti puisi yang tak pernah rampung ditulis. Tak ada yang tahu kapan tepatnya ia datang, karena ia adalah rahasia yang dirawat Allah dengan kemuliaan. Bahkan Rasulullah SAW pun tak diberi kepastian waktunya. Karena yang dicari bukan tanggal, tapi kehadiran. Bukan angka, tapi rasa.
Dalam tradisi sufistik, malam ini adalah saat ruh tersambung dengan Yang Maha.Â
Dzikir bukan sekadar lisan, tapi gerak semesta. Tangis menjadi bahasa, dan sepi adalah firasat akan rahmat yang mendekat. Seorang penyair berkata, "Di malam itu, langit membisikkan rahasia kepada mereka yang bersujud."
Tapi apakah semua ini sekadar metafora? Apakah benar ada "energi ilahiah" yang turun ke bumi?
Ilmu pengetahuan modern pun mulai mencium jejak keajaiban malam itu. Dalam studi neuropsikologi, para peneliti mencatat bahwa tahajud, terutama di sepertiga malam terakhir, memicu gelombang otak alfa dan teta, gelombang yang identik dengan ketenangan spiritual dan kreativitas mendalam. Sebuah studi di Harvard mengungkapkan bahwa orang yang bangun di waktu malam untuk ibadah memiliki peningkatan hormon melatonin dan serotonin, dua zat penenang alami yang juga menjaga sistem imun.
Fenomena "gelombang ketenangan" ini bukan sekadar biokimia. Ia adalah cermin dari janji spiritual. Sebab tubuh, dalam zikirnya yang diam-diam, mengenali apa yang disebut para arif sebagai sakinah: ketenteraman yang diturunkan dari langit.
Dan mungkin malam itu adalah malam ketika Tuhan sangat dekat, seperti disebut dalam hadis Qudsi:
"Aku bersama hamba-Ku ketika ia mengingat-Ku."
(HR. Bukhari)
Jika benar malam itu datang, ia akan datang diam-diam. Tanpa sirine. Tanpa gemuruh. Hanya keheningan yang terasa penuh. Malam itu adalah ketika langit membuka pintunya, dan rahmat berjalan masuk, bahkan untuk mereka yang lupa mengetuk.
Malam itu adalah ketika langit membuka pintunya, dan rahmat berjalan masuk, bahkan untuk mereka yang lupa mengetuk.
Dan Lailatul Qadar adalah lambaian tangan dari sesuatu yang tak kasatmata, tapi sangat hadir. Seperti cahaya dalam dada. Seperti ampunan yang tiba sebelum doa terucap.
Karena pada malam itu, waktu pun berlutut.
Bogor, 26 Maret 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI