Namun, Lailatul Qadar bukan malam yang bisa ditangkap dengan kalender. Ia seperti puisi yang tak pernah rampung ditulis. Tak ada yang tahu kapan tepatnya ia datang, karena ia adalah rahasia yang dirawat Allah dengan kemuliaan. Bahkan Rasulullah SAW pun tak diberi kepastian waktunya. Karena yang dicari bukan tanggal, tapi kehadiran. Bukan angka, tapi rasa.
Dalam tradisi sufistik, malam ini adalah saat ruh tersambung dengan Yang Maha.Â
Dzikir bukan sekadar lisan, tapi gerak semesta. Tangis menjadi bahasa, dan sepi adalah firasat akan rahmat yang mendekat. Seorang penyair berkata, "Di malam itu, langit membisikkan rahasia kepada mereka yang bersujud."
Tapi apakah semua ini sekadar metafora? Apakah benar ada "energi ilahiah" yang turun ke bumi?
Ilmu pengetahuan modern pun mulai mencium jejak keajaiban malam itu. Dalam studi neuropsikologi, para peneliti mencatat bahwa tahajud, terutama di sepertiga malam terakhir, memicu gelombang otak alfa dan teta, gelombang yang identik dengan ketenangan spiritual dan kreativitas mendalam. Sebuah studi di Harvard mengungkapkan bahwa orang yang bangun di waktu malam untuk ibadah memiliki peningkatan hormon melatonin dan serotonin, dua zat penenang alami yang juga menjaga sistem imun.
Fenomena "gelombang ketenangan" ini bukan sekadar biokimia. Ia adalah cermin dari janji spiritual. Sebab tubuh, dalam zikirnya yang diam-diam, mengenali apa yang disebut para arif sebagai sakinah: ketenteraman yang diturunkan dari langit.
Dan mungkin malam itu adalah malam ketika Tuhan sangat dekat, seperti disebut dalam hadis Qudsi:
"Aku bersama hamba-Ku ketika ia mengingat-Ku."
(HR. Bukhari)
Jika benar malam itu datang, ia akan datang diam-diam. Tanpa sirine. Tanpa gemuruh. Hanya keheningan yang terasa penuh. Malam itu adalah ketika langit membuka pintunya, dan rahmat berjalan masuk, bahkan untuk mereka yang lupa mengetuk.
Malam itu adalah ketika langit membuka pintunya, dan rahmat berjalan masuk, bahkan untuk mereka yang lupa mengetuk.