Mohon tunggu...
Dicky Pirmansyah
Dicky Pirmansyah Mohon Tunggu... Guru - Dicky

Dicky Pirmansyah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkembangan Hukum Waris di Indonesia

14 September 2021   18:26 Diperbarui: 14 September 2021   18:31 1135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Adapun ide pembaharuan dalam hukum waris yang dicetuskan Hazairin pada intinya berintikan: pertama, ahli waris perempuan sama dengan laki-laki dapat menutup ahli waris kelompok keutamaan yang lebih rendah. 

Jadi, selama masih ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka datuk atau pun saudara baik laki-laki maupun perempuan sama-sama ter-hijab. 

Kedua, hubungan kewarisan melalui garis laki-laki sama kuatnya dengan garis perempuan. Karenanya penggolongan ahli waris menjadi ashabah dan zawu al-arham tidak diakui dalam teori ini. ketiga, ahli waris pengganti selalu mewaris, tidak pernah tertutup oleh ahli waris lain (utama). 

Jadi, cucu dapat mewaris bersama dengan anak manakala orang tuanya meninggal lebih dulu daripada kakeknya dan bagian yang diterimanya sama besarnya dengan yang diterima oleh orang tuanya (seandainya masih hidup). Berdasarkan teori ini Hazairin membagi ahli waris menjadi tiga kelompok, yakni: zawu al-faraid, zawu al-qarabat, dan mawali. Zawu al-faraid adalah ahli waris yang telah ditetapkan bagiannya dalam al-Qur'an. Dalam hal ini hampir seluruh mazhab fiqh menyepakatinya, baik Sunni maupun Syiah. Bagian mereka ini dikeluarkan dari sisa harta setelah harta peninggalan dibayarkan untuk wasiat, hutang, dan biaya kematian. 

Adapun zawu al-qarabat adalah ahli waris yang tidak termasuk zawu al-faraid menurut sistem bilateral. Bagian mereka dikeluarkan dari sisa harta peninggalan setelah dibayar wasiat, hutang, onkos kematian, dan bagian untuk zawu al-faraid. Sedangkan mawali adalah ahli waris pengganti, yang oleh Hazairin konsep ini di-istinbat-kan dari Q.S. al-Nisa (4): 33. Adanya mawali (ahli waris pengganti) ini merupakan konsep yang benar-benar baru dalam ilmu faraid (waris). 

Dimaksudkan dengan mawali (ahli waris pengganti) di sini adalah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang akan digantikan tersebut. Hal ini terjadi karena orang yang digantikan tersebut telah meninggal lebih dulu daripada si pewaris. Orang yang digantikan ini merupakan penghubung antara yang menggantikan dengan pewaris (yang meninggalkan harta warisan). Adapun yang dapat menjadi mawali yaitu keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris, ataupun keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian (misalnya dalam bentuk wasiat) dengan si pewaris.

Pada akhir tahun 1989 dengan perjuangan politik yang alot oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan komitmen Pemerintah untuk menjadikan pengadilan agama mempunyai kedudukan, tugas dan fungsi yang sederajat  dengan pengadilan yang lain ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dengan memiliki kewenagan dalam perkara perkawinan, waris, wasiat, wakaf dan hibah berdasarkan hukum Islam, wakaf dan sadakah (Pasal 49).  

Berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang amndemen UU Nomor 7 Tahun 1989 kata berdasarkan hukum Islam dihilangkan, maka pengadilan agama memiliki kewenangan dalam perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,  zakat, infak, dan sedakah. Puncak perkembangan hukum waris Islam di Indonesia dengan disusun Kompilasi Hukum Islam menjadi pedoman bagi masyarakat Islam Indonesia dan hakim pengadilan agama dalam menerima, memeriksa dan memutuskan perkara. Kompilasi Hukum Islam (KHI) hasil ijtihad jam'i (pendapat kolektif) para kalangan  ahli hukum  Islam  Indonesia keberlakuannya berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, 

dalam pertimbangan yuridis Kompilsi Hukum Islam (KHI) dikatakan berlaku bagi Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut. Instruksi Presiden tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991, tanggal 22 Juli 1991,  meminta kepada seluruh Instansi Departemen Agama, terutama Peradilan Agama dan Instansi Pemerintah lain yang terkait untuk menyebarluaskan KHI dimaksud  dan sedapat mungkin menerapkan kompilasi tersebut disamping peraturan perundang-undangan lainnya. 

Walaupun Instruksi Presiden tidak termasuk dalam hirarki perundang-undangan, namun setidaknya menjadi dasar awal untuk menerapkan hukum Islam secara nasional. 

Menurut Hasan Basri, kompilasi hukum Islam ini merupakan keberhasilan besar umat Islam Indonesia pada pemerintahan orde baru. Dengan  demikian, nantinya umat Islam di Indonesia akan mempunyai pedoman fikih yang seragam dan telah menjadi hukum positif  yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun