Ketika Angka Jadi Tolak Ukur
Pernahkah Anda membuka media sosial lalu tanpa sadar langsung menengok ke sudut layar, cuma untuk memastikan sudah berapa jumlah followers hari ini? Rasanya ada dorongan kecil yang muncul setiap kali angka itu bertambah. Seakan-akan satu angka tambahan sama dengan satu kepingan kecil pengakuan.
Tapi jujur saja, pernahkah Anda bertanya pada diri sendiri: sebenarnya apa yang dibanggakan dari angka itu? Apakah benar jumlah followers menjadi ukuran nilai diri? Dan kalau suatu saat jumlahnya turun, apakah berarti kita kehilangan sesuatu yang penting?
Kebanggaan pada jumlah followers itu mirip dengan rasa senang anak kecil ketika mendapat banyak koin mainan di arena permainan. Koin itu terasa berharga pada saat itu, padahal kita tahu nilainya cuma berlaku sebatas mesin yang menukar hadiah kecil.
Pertanyaannya, apakah angka followers juga seperti koin mainan itu?
Mengapa Angka Bisa Membius?
Dalam psikologi, ada istilah dopamine hit. Itu adalah ledakan kecil rasa senang yang dilepaskan otak ketika Anda mendapatkan sesuatu yang memuaskan. Setiap kali angka followers bertambah, otak Anda memberi sinyal kalau Anda baru saja "berhasil".
Efek ini sama dengan perasaan saat orang memberi "like" atau komentar positif. Ada pengakuan sosial yang dirasakan. Padahal, pengakuan itu tidak selalu datang dari orang yang benar-benar mengenal Anda. Bisa jadi dari orang asing yang cuma sekilas melihat postingan.
Sosiologi juga menjelaskan fenomena ini. Manusia adalah makhluk sosial. Sejak zaman dulu, kita selalu ingin diakui sebagai bagian dari kelompok. Bedanya, dulu pengakuan itu datang dari komunitas kecil seperti keluarga, tetangga, atau teman sepermainan. Sekarang, pengakuan itu datang dalam bentuk angka digital yang bisa diakses siapa saja.
Cerita Seorang Konten Kreator
Bayangkan seorang konten kreator yang baru merintis akun. Awalnya, ia cuma ingin berbagi cerita ringan tentang keseharian. Tapi lama-lama, ketika followers bertambah, fokusnya bergeser.
Ia mulai berpikir keras, "Konten apa ya yang kira-kira bisa viral?" Bukan lagi "Apa yang ingin aku bagikan?" tapi "Apa yang orang lain mau lihat?"
Di titik itu, rasa bangga pada angka followers bisa jadi jebakan. Kebahagiaan tidak lagi datang dari keaslian diri, tapi dari seberapa banyak orang lain memberi tanda suka.