Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Let's talk about life.

IG: cakesbyzas

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Belanja Ekonomis Bukan Aib, Melainkan Seni Bertahan di Masa Sulit

12 September 2025   07:59 Diperbarui: 12 September 2025   07:59 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat ekonomi sulit, downgrade barang konsumsi bisa jadi strategi yang tepat (Gemini AI-Generated image)

Mengawali dengan Kejujuran pada Diri Sendiri

Ada satu momen yang sering membuat orang terdiam lama di depan rak supermarket. Bukan karena bingung mau beli apa, tapi karena sadar barang yang biasa diambil kini terasa berat di dompet. Harga minyak goreng naik, beras melonjak, bahkan sabun mandi kesukaan ikut merangkak. Akhirnya, tangan berhenti di tengah jalan: antara gengsi untuk tetap membeli yang biasa atau keberanian menurunkan pilihan ke kemasan ekonomis.

Situasi seperti ini semakin sering muncul belakangan. Pendapatan tidak naik, tapi harga barang seperti tak mau berhenti berlari. Anda mungkin juga pernah mengalaminya, ketika harus menimbang: apakah tetap setia pada merek lama, atau rela beralih ke yang lebih murah? Di titik ini, banyak orang justru tersiksa bukan cuma karena harga, tapi karena rasa. Rasa gengsi, rasa takut terlihat "turun kelas", atau rasa kecewa karena merasa hidup makin sempit.

Padahal, justru di sinilah letak ujian hidup: apakah Anda siap beradaptasi? Apakah Anda mampu menerima kalau bertahan kadang butuh menurunkan standar, tanpa kehilangan martabat sebagai manusia?

Hilangkan Gengsi, Selamatkan Esensi

Kalau direnungkan, banyak dari kita yang membeli sesuatu bukan murni karena kebutuhan, tapi karena citra. Air mineral dalam botol misalnya. Air tetap air, tapi kemasan bisa membuat orang merasa berbeda. Ada kebanggaan kecil ketika meletakkan botol merek ternama di meja kantor. Tapi apa jadinya kalau pendapatan menurun? Apakah tetap ngotot beli yang sama, atau beralih ke galon isi ulang yang lebih murah?

Di sinilah gengsi bermain. Banyak orang rela menambah beban keuangan demi mempertahankan "wajah" di depan orang lain. Padahal, wajah itu cuma dilihat sekilas. Sementara dompet yang kempis, Anda yang menanggung.

Dalam nilai hidup, terutama yang diajarkan oleh Islam, gengsi bukanlah sesuatu yang layak dipelihara. Hidup diajarkan untuk sederhana, tidak berlebihan, dan yang paling penting: tidak menipu diri sendiri. Ikhlas berarti mampu melepas beban yang tidak perlu, termasuk beban menjaga citra semu.

Cerita di Dapur: Pilihan yang Mengajarkan Rendah Hati

Bayangkan seorang ibu rumah tangga yang biasa membeli daging sapi setiap akhir pekan. Itu jadi rutinitas keluarga: masak rendang, sop, atau semur. Tapi beberapa bulan terakhir, harga daging melambung. Dengan berat hati, ia mengganti daging sapi dengan ayam, atau bahkan telur. Anak-anak sempat protes, merasa kehilangan "kemewahan kecil" di meja makan.

Awalnya terasa sedih, bahkan sedikit malu kalau ada saudara yang datang berkunjung. Tapi lama-lama, keluarga mulai terbiasa. Anak-anak malah belajar mensyukuri apa pun yang tersaji. Dari yang tadinya menuntut daging, mereka belajar kalau makan bersama lebih penting daripada menunya.

Apa yang terjadi? Keluarga itu menemukan hikmah. Dengan keterbatasan, lahirlah rasa syukur. Dengan penurunan, lahirlah kerendahan hati.

Cerita seperti ini mungkin juga dekat dengan Anda. Kadang penurunan standar bukanlah akhir, melainkan pintu menuju cara pandang baru.

Psikologi di Balik Perubahan Konsumsi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun