Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Let's talk about life.

-

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Hati-hati, Apa yang Anda Post di Medsos, Tidak Semua Orang (akan) Suka

2 September 2025   08:09 Diperbarui: 3 September 2025   08:39 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: selfie, posting ke media sosial. (Sumber: Shutterstock via kompas.com) 

Dunia yang Tak Lagi Sama

Anda tentu sudah merasakan sendiri bagaimana hidup berubah sejak media sosial menjadi bagian sehari-hari. Dulu, kalau ingin bercerita, Anda butuh waktu duduk dengan teman dekat, atau menulis surat panjang. Sekarang, cukup beberapa ketikan jari, lalu kirim. Sekejap saja cerita itu bisa dibaca ratusan bahkan ribuan orang.

Cuma, di balik kemudahan itu, ada sesuatu yang sering terlupakan. Setiap postingan bukan lagi cuma sekadar ekspresi diri. Itu bisa jadi undangan untuk dipuji, disalahpahami, diperdebatkan, bahkan dibenci. Dan yang sering membuat kaget adalah: ternyata tidak semua orang akan suka dengan apa yang Anda bagikan, bahkan hal yang menurut Anda sederhana sekalipun.

Bayangkan seseorang menulis status tentang keberhasilan kecilnya---misalnya baru berhasil lari 5 km setelah berbulan-bulan malas olahraga. 

Maksudnya sekadar berbagi semangat. Tapi tiba-tiba ada yang menanggapi sinis, "Ah, segitu aja bangga. Orang lain sudah maraton 42 km." 

Komentar seperti itu bisa membuat perasaan berubah seketika. Dari senang jadi kesal. Dari semangat jadi ragu: "Apa sebaiknya aku tidak usah posting lagi?"

Itulah realitas media sosial. Ruang yang terasa seperti milik pribadi, padahal sebenarnya publik.

Ekspresi Diri atau Panggung Pertunjukan?

Kalau direnungkan, media sosial memang punya dua wajah. Di satu sisi, ini tempat untuk mengekspresikan diri. Anda bisa menulis apa yang dirasakan, membagikan foto yang disukai, atau sekadar melemparkan opini tentang hal-hal yang sedang ramai.

Tapi di sisi lain, ini juga panggung pertunjukan. Begitu sesuatu diposting, orang lain otomatis menjadi penonton. Dan setiap penonton punya kacamata berbeda. Ada yang melihat dengan rasa kagum. Ada yang melihat dengan iri. Ada yang menertawakan. Ada yang diam saja, tapi dalam hati menyimpan kesan tertentu.

Dari sudut pandang psikologi sosial, manusia memang tidak bisa lepas dari "gaze" atau tatapan orang lain. Begitu merasa diperhatikan, perilaku kita bisa berubah. Sama seperti orang yang biasanya santai saat berjalan, tiba-tiba jadi canggung ketika merasa dilihat banyak orang. Media sosial menciptakan kondisi itu setiap hari, bahkan ketika Anda duduk sendirian di kamar.

Pertanyaannya: apakah kita sedang benar-benar mengekspresikan diri, atau tanpa sadar sedang berperan di sebuah panggung besar yang penontonnya tidak selalu ramah?

Cerita Kecil: Senyum yang Salah Tafsir

Bayangkan seorang pegawai muda baru saja mendapat promosi. Ia merasa bahagia, lalu mengunggah foto sederhana: tersenyum sambil memegang secangkir kopi, dengan caption singkat, "Akhirnya sampai juga di tahap ini."

Bagi dirinya, itu ekspresi syukur. Tapi tidak semua pembaca menangkap hal yang sama. Ada rekan kerja yang merasa itu bentuk pamer. Ada sahabat lama yang diam-diam iri karena kariernya sendiri stagnan. Bahkan ada yang berkomentar, "Hati-hati ya, jangan cepat puas. Dunia kerja itu keras."

Padahal niat awal cuma ingin berbagi rasa senang. Tapi hasilnya justru memunculkan kesalahpahaman.

Di titik ini, kita bisa belajar satu hal penting: kebaikan niat tidak selalu dibaca dengan baik oleh orang lain. Media sosial memperbesar potensi salah tafsir, karena orang tidak mendengar nada suara Anda, tidak melihat gerak tubuh, cuma membaca teks atau melihat gambar yang terbatas.

Dalam Islam, niat adalah inti. Tapi dalam interaksi sosial, niat tidak bisa langsung terlihat. Yang dilihat orang lain adalah wujud luar. Itulah sebabnya hati-hati menjadi kunci.

Bijaklah dalam posting sesuatu di media sosial (freepik)
Bijaklah dalam posting sesuatu di media sosial (freepik)

Algoritma: Sahabat atau Musuh?

Selain faktor manusia, ada lagi pemain besar yang diam-diam memengaruhi: algoritma.

Algoritma media sosial tidak netral. Ia dirancang untuk membuat Anda betah berlama-lama. Semakin banyak interaksi---entah itu like, komentar, atau share---semakin besar kemungkinan postingan Anda tersebar luas.

Tapi algoritma tidak peduli apakah interaksi itu positif atau negatif. Kalau postingan Anda membuat orang marah, kemungkinan besar justru akan lebih viral. Karena kemarahan mendorong orang untuk komentar lebih panjang, membagikan ke grup, bahkan menulis balasan keras.

Akhirnya, sesuatu yang awalnya sederhana bisa melebar jadi perdebatan panjang. Anda mungkin cuma ingin menulis opini ringan tentang film yang ditonton. Tapi ternyata ada yang menanggapi dengan perspektif politik, agama, atau identitas tertentu. Algoritma ikut memperbesar api.

Dari sini terlihat jelas kalau media sosial bukan sekadar ruang ekspresi, tapi juga arena ekonomi perhatian. Semua orang berebut atensi. Pertanyaannya: apakah Anda ingin ikut terjebak di dalamnya, atau memilih lebih bijak mengendalikan apa yang keluar?

Sudut Pandang Psikologi: Butuh Validasi atau Sekadar Berbagi?

Kalau diteliti lebih dalam, banyak postingan lahir dari kebutuhan psikologis yang wajar: kebutuhan untuk diakui. Manusia ingin merasa dilihat, dihargai, dan diingat. Setiap like atau komentar bisa memberi suntikan dopamin kecil yang menyenangkan.

Masalah muncul ketika validasi itu jadi candu. Anda mungkin pernah merasakan, menunggu notifikasi setelah memposting sesuatu. Kalau like banyak, hati terasa lega. Kalau sepi, muncul rasa kecewa, bahkan pertanyaan, "Apakah aku tidak menarik lagi?"

Di sinilah jebakan halus terjadi. Hidup Anda bisa tiba-tiba bergantung pada penilaian orang yang bahkan tidak terlalu dekat. Padahal kebahagiaan sejati seharusnya tidak ditentukan dari angka di layar.

Psikologi positif mengingatkan kalau kesejahteraan batin lebih stabil jika bersumber dari dalam---dari rasa syukur, tujuan hidup, dan koneksi nyata dengan orang-orang terdekat. Media sosial bisa jadi tambahan, tapi tidak boleh jadi penentu utama.

Perspektif Islam: Ikhlas dan Amanah dalam Dunia Digital

Dalam pandangan Islam, setiap kata yang keluar akan dimintai pertanggungjawaban. Kalau di dunia nyata lidah bisa tergelincir, di dunia digital jari bisa lebih mudah terpeleset.

Ikhlas berarti menjaga hati agar tidak selalu ingin terlihat sempurna atau dipuji orang lain. Amanah berarti berhati-hati sebelum menyebarkan sesuatu, karena setiap postingan bisa berdampak pada orang lain.

Kadang, satu postingan bisa menguatkan hati seseorang yang sedang rapuh. Tapi di lain waktu, postingan yang sama bisa melukai hati orang lain yang sedang berjuang. Maka bijaklah memilih kata. Karena dunia digital menyimpan jejak yang lebih panjang daripada percakapan lisan.

Postingan yang Jadi Bumerang

Ada kisah tentang seorang karyawan yang tanpa pikir panjang menulis status, "Akhirnya libur juga, bos lagi ke luar negeri." Maksudnya bercanda. Tapi ternyata ada rekan kerja yang menyebarkan status itu ke grup kantor. Atasan membacanya dan merasa tersinggung. Hasilnya? Hubungan kerja jadi renggang, bahkan peluang promosi tertutup.

Kisah semacam ini banyak terjadi. Bukan karena niat buruk, tapi karena kelalaian. Kadang kita lupa kalau yang membaca bukan cuma teman akrab, tapi juga kolega, keluarga, bahkan orang yang tidak pernah Anda bayangkan sebelumnya.

Di sinilah pentingnya berpikir panjang sebelum mengetik.

Filosofi Kebebasan: Apakah Benar Anda Bebas di Media Sosial?

Banyak orang merasa media sosial adalah ruang kebebasan. Anda bebas berbicara, bebas berpendapat, bebas mengekspresikan diri.

Tapi filsafat kebebasan mengajarkan, tidak ada kebebasan yang benar-benar mutlak. Kebebasan selalu berdampingan dengan tanggung jawab. Anda boleh bicara, tapi harus siap dengan konsekuensinya.

Jean-Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis, pernah mengatakan: manusia dikutuk untuk bebas. Maksudnya, kita bebas memilih, tapi tidak bisa lari dari tanggung jawab atas pilihan itu. Media sosial persis menggambarkan hal ini. Setiap postingan adalah pilihan. Dan setiap pilihan membawa konsekuensi, entah disukai atau dibenci.

Menjaga Jejak Digital dengan Bijak

Akhirnya, kembali pada pertanyaan sederhana: apa tujuan Anda memposting sesuatu? Kalau tujuannya sekadar pamer, mungkin sebaiknya dipikir ulang. Kalau tujuannya berbagi manfaat, pastikan isi sesuai. Kalau tujuannya curhat, pertimbangkan tempat yang lebih aman daripada ruang publik.

Hidup di era digital memang membuat semua orang punya mikrofon. Tapi tidak semua hal pantas diucapkan keras-keras. Ada hal yang lebih baik disimpan. Ada yang cukup dibicarakan dengan orang terdekat. Dan ada yang bisa dibagikan, tapi dengan cara yang bijak.

Jejak digital bisa jadi ladang kebaikan, tapi bisa juga jadi beban panjang. Semua kembali pada bagaimana Anda menggunakannya.

Jadi, sebelum jari Anda menekan tombol "post", berhentilah sejenak. Tanyakan pada diri: apakah ini akan membawa manfaat, atau cuma menambah kebisingan? Apakah ini akan mendekatkan pada kebaikan, atau justru membuka celah masalah?

Pertanyaannya sekarang: kalau Anda menoleh ke belakang lima atau sepuluh tahun mendatang, kira-kira postingan seperti apa yang ingin Anda tinggalkan?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun