Bayangkan seorang pegawai muda baru saja mendapat promosi. Ia merasa bahagia, lalu mengunggah foto sederhana: tersenyum sambil memegang secangkir kopi, dengan caption singkat, "Akhirnya sampai juga di tahap ini."
Bagi dirinya, itu ekspresi syukur. Tapi tidak semua pembaca menangkap hal yang sama. Ada rekan kerja yang merasa itu bentuk pamer. Ada sahabat lama yang diam-diam iri karena kariernya sendiri stagnan. Bahkan ada yang berkomentar, "Hati-hati ya, jangan cepat puas. Dunia kerja itu keras."
Padahal niat awal cuma ingin berbagi rasa senang. Tapi hasilnya justru memunculkan kesalahpahaman.
Di titik ini, kita bisa belajar satu hal penting: kebaikan niat tidak selalu dibaca dengan baik oleh orang lain. Media sosial memperbesar potensi salah tafsir, karena orang tidak mendengar nada suara Anda, tidak melihat gerak tubuh, cuma membaca teks atau melihat gambar yang terbatas.
Dalam Islam, niat adalah inti. Tapi dalam interaksi sosial, niat tidak bisa langsung terlihat. Yang dilihat orang lain adalah wujud luar. Itulah sebabnya hati-hati menjadi kunci.
Algoritma: Sahabat atau Musuh?
Selain faktor manusia, ada lagi pemain besar yang diam-diam memengaruhi: algoritma.
Algoritma media sosial tidak netral. Ia dirancang untuk membuat Anda betah berlama-lama. Semakin banyak interaksi---entah itu like, komentar, atau share---semakin besar kemungkinan postingan Anda tersebar luas.
Tapi algoritma tidak peduli apakah interaksi itu positif atau negatif. Kalau postingan Anda membuat orang marah, kemungkinan besar justru akan lebih viral. Karena kemarahan mendorong orang untuk komentar lebih panjang, membagikan ke grup, bahkan menulis balasan keras.
Akhirnya, sesuatu yang awalnya sederhana bisa melebar jadi perdebatan panjang. Anda mungkin cuma ingin menulis opini ringan tentang film yang ditonton. Tapi ternyata ada yang menanggapi dengan perspektif politik, agama, atau identitas tertentu. Algoritma ikut memperbesar api.
Dari sini terlihat jelas kalau media sosial bukan sekadar ruang ekspresi, tapi juga arena ekonomi perhatian. Semua orang berebut atensi. Pertanyaannya: apakah Anda ingin ikut terjebak di dalamnya, atau memilih lebih bijak mengendalikan apa yang keluar?